Dalam tradisi masyarakat Jawa, waktu tidak hanya dilihat secara linear seperti dalam kalender Masehi, tetapi juga sebagai siklus spiritual yang penuh makna simbolis. Salah satu sistem yang menggambarkan pemahaman waktu tersebut adalah wuku, bagian dari kalender pawukon Jawa. Wuku terdiri dari 30 pekan yang masing-masing berdurasi tujuh hari dan dipakai dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat: dari menentukan hari baik hingga membaca watak manusia.

Artikel ini membahas secara lengkap konsep wuku, sejarah dan asal-usul nama-nama 30 wuku, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, hingga mitologi menarik yang menjadi dasar dari sistem pawukon itu sendiri.

 

Apa Itu Wuku?

Wuku adalah siklus 7 harian yang berlangsung selama 30 minggu atau total 210 hari. Dalam sistem kalender Jawa, satu tahun pawukon berisi 210 hari, yang merupakan kombinasi antara siklus wuku dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perhitungan ini masih digunakan untuk menentukan hari-hari penting seperti pernikahan, khitanan, mendirikan rumah, hingga bercocok tanam.

 

Asal Usul Nama-nama Wuku

Setiap wuku memiliki nama tersendiri yang khas dan sebagian besar terkait dengan tokoh-tokoh mitologis, serta legenda lokal. Berikut adalah daftar 30 nama wuku beserta makna atau latar belakang namanya:

  1. Sinta – Diambil dari Dewi Sinta, lambang kesetiaan dan keteguhan hati.

  2. Landep – Berarti tajam, melambangkan pikiran yang jernih dan keputusan tegas.

  3. Wukir – Gunung; simbol keteguhan dan kekuatan batin.

  4. Kurantil – Melambangkan keriangan dan semangat muda.

  5. Tolu – Simbol awal perubahan; dinamika kehidupan.

  6. Gumbreg – Guntur atau suara keras; tanda akan datangnya perubahan besar.

  7. Warigalit – Mengandung misteri atau hal-hal tersembunyi.

  8. Warigagung – Kemenangan besar; sering diasosiasikan dengan keberuntungan.

  9. Julungwangi – Akhir yang harum; menggambarkan penutup yang membahagiakan.

  10. Sungsang – Terbalik atau tidak normal; menandakan waktu yang penuh tantangan.

  11. Galungan – Hari besar kemenangan spiritual.

  12. Kuningan – Penutup dari Galungan, saat roh leluhur kembali ke nirwana.

  13. Langkir – Ujung dari sesuatu; penanda masa peralihan.

  14. Mandasiya – Waktu penuh renungan dan pertimbangan batin.

  15. Julungpujud – Permulaan tanpa kejelasan; simbol perjalanan awal yang membingungkan.

  16. Pahang – Tenang, damai, dan penuh kelembutan.

  17. Kuruwelut – Licik namun cerdik, seperti belut.

  18. Marakeh – Pemburu rejeki; baik untuk memulai usaha.

  19. Tambir – Waktu untuk berhati-hati dan waspada.

  20. Medangkungan – Hutan belantara; penuh misteri dan petualangan.

  21. Maktal – Medan perang; simbol ujian dan perjuangan hidup.

  22. Wuye – Gelap dan tidak terlihat; cocok untuk perenungan.

  23. Manahil – Mata air; lambang kesuburan dan rejeki.

  24. Prangbakat – Siap tempur; waktu untuk bertindak.

  25. Bala – Tentara; menandakan kekuatan dan loyalitas.

  26. Wugu – Matang; waktu panen dan puncak pencapaian.

  27. Wayang – Simbol kehidupan yang penuh drama.

  28. Kelawu – Kain penutup; menggambarkan rahasia dan perlindungan.

  29. Dukut – Rumput liar; tak terduga namun bermanfaat.

  30. Watugunung – Batu gunung; penutup wuku sekaligus simbol kekuatan spiritual.

 

Legenda Asal Mula Pawukon

Sistem wuku dalam pawukon tidak hanya bersifat fungsional, namun juga memiliki akar mitologis yang kuat. Salah satu kisah asal-usul pawukon berasal dari legenda yang melibatkan Batara Wisnu, Prabu Watu Gunung, dan Dewi Sinta.

Dikisahkan bahwa Prabu Watu Gunung, raja dari negeri Gilingwesi, melakukan perjalanan ke Suralaya (kahyangan para dewa) untuk melamar bidadari, sesuai saran dari istrinya, Dewi Sinta. Namun, keberadaan manusia di tempat para dewa menimbulkan kegelisahan dan ketegangan antara dunia manusia dan kahyangan.

Ikut dalam rombongan adalah Raden Srigati, putra Batara Wisnu. Dalam pertarungan yang sengit antara Prabu Watu Gunung dan para dewa, Raden Srigati memainkan peran penting hingga akhirnya Watu Gunung kalah.

Setelah kekalahan itu, para dewa bingung memutuskan nasib Raden Srigati yang merupakan titisan mereka. Dewi Sinta meratapi kematian suaminya terus-menerus, dan tangisannya disebut mampu mengguncang dunia.

Para dewa, dalam keadaan dilema, memberi janji palsu kepada Dewi Sinta bahwa suaminya akan hidup kembali dalam tiga hari. Namun setelah tiga hari, janji itu tak ditepati. Ratapan Dewi Sinta terus berlanjut hingga akhirnya para dewa sungguh-sungguh menghidupkan kembali Prabu Watu Gunung.

Sebagai bentuk pengangkatan spiritual, para dewa memerintahkan Prabu Watu Gunung untuk kembali ke negerinya bersama Dewi Sinta, istri keduanya Dewi Landep, serta anak-anaknya. Mereka diangkat menjadi makhluk kahyangan.

Setiap minggu, satu per satu dari keluarga ini diangkat ke surga. Maka dari sinilah muncul pembagian 30 wuku dalam kalender pawukon: setiap wuku adalah lambang dari satu minggu perjalanan keluarga Prabu Watu Gunung menuju pengangkatan ilahiah. Legenda ini menjadi dasar spiritual dan simbolik dari pembagian pekan dalam sistem wuku Jawa.

 

Penerapan Wuku dalam Kehidupan Sehari-hari

Sampai hari ini, konsep wuku masih digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, antara lain:

1. Hari Baik dan Hari Naas

Melalui gabungan antara wuku dan pasaran, masyarakat dapat menentukan hari baik untuk menikah, pindah rumah, membangun rumah, dan acara penting lainnya.

2. Watak dan Nasib Berdasarkan Wuku

Setiap orang memiliki wuku kelahiran yang dianggap mewakili sifat dasar dan nasib hidupnya. Ini menjadi dasar pembacaan horoskop Jawa atau petungan.

3. Ruwatan Sukerta

Beberapa wuku dianggap mengandung energi sukerta (kurang baik), terutama jika seseorang lahir di waktu tertentu. Anak-anak “sukerta” ini perlu diruwat agar terhindar dari kesialan.

4. Siklus Bertani

Petani tradisional masih memanfaatkan perhitungan wuku untuk menentukan waktu tanam dan panen, agar memperoleh hasil maksimal dan terhindar dari bencana alam.

*****

Wuku bukan sekadar sistem pekan atau hitungan waktu, tetapi juga sistem filsafat dan spiritual yang membentuk cara pandang masyarakat Jawa terhadap kehidupan. Dalam setiap wuku terkandung makna, cerita, dan simbol yang berakar dalam mitologi serta pengalaman hidup masyarakat.

Melalui legenda Prabu Watu Gunung dan keluarga ilahinya, kita belajar bahwa waktu dalam tradisi Jawa tidak hanya linier tetapi juga memiliki jiwa, cerita, dan fungsi sosial-ritual. Warisan ini layak terus dipelajari dan dilestarikan, karena bukan hanya menyimpan pengetahuan leluhur, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan kultural yang sangat kaya.