Dalam khazanah budaya Jawa, tembang macapat bukan sekadar bentuk karya sastra atau kesenian musik lisan. Lebih dari itu, tembang macapat adalah cermin nilai-nilai hidup, spiritualitas, dan filosofi Jawa yang halus namun mendalam.
Setiap pupuh atau jenis tembang dalam macapat membawa makna simbolik yang merefleksikan perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia.
Dalam spiritualitas Kejawen, tembang macapat bisa dianggap sebagai suluk, atau laku batin, yang mengarahkan seseorang pada pemahaman hidup yang sejati.
Apa Itu Tembang Macapat?
Tembang macapat adalah jenis puisi tradisional Jawa yang diikat oleh guru lagu (nada akhir), guru wilangan (jumlah suku kata), dan watak khas pada tiap jenis tembangnya. Ada sebelas jenis tembang macapat, yaitu Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocung.
Setiap tembang bukan hanya memiliki struktur linguistik yang unik, tetapi juga menyimpan pesan spiritual dan filosofi yang berkaitan dengan fase-fase kehidupan manusia. Dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, tembang digunakan sebagai media kontemplasi dan ajaran moral yang halus.
Simbolisme dalam Setiap Jenis Tembang
Mari kita telaah jenis-jenis tembang macapat dan makna simbolisnya dalam spiritualitas Jawa.
1. Maskumambang
Watak: Melankolis, sedih, tidak pasti
Simbol: Awal kehidupan, saat roh masih belum memiliki wujud
Contoh bait:
Maskumambang tandha tan kena tinemu, pangeling eling kang wus kalairan,
Tembang ini menggambarkan kondisi manusia sebelum lahir ke dunia. Kata “maskumambang” secara harfiah berarti “mengambang di dalam air”, merujuk pada janin dalam kandungan. Dalam spiritualitas Jawa, fase ini merupakan fase suci, di mana roh masih murni dan belum terikat oleh dunia.
2. Mijil
Watak: Harapan, awal kehidupan
Simbol: Kelahiran
Makna filosofi:
Mijil berarti “keluar” atau “lahir”. Fase ini menggambarkan manusia yang baru hadir di dunia, membawa harapan dan potensi. Dalam laku spiritual, ini adalah fase “turun ke dunia” yang penuh kemungkinan dan perlu arahan.
3. Sinom
Watak: Muda, semangat, belajar
Simbol: Masa muda dan pendidikan
Kutipan bait:
Sinom tembanging kawula enom, nyinau laku, ngudi kawruh,
Sinom berasal dari kata “enom” (muda). Dalam konteks spiritual, ini adalah fase pencarian jati diri. Anak muda belajar dari guru, dari pengalaman, dan dari batin untuk mengenal laku urip sejati.
4. Kinanthi
Watak: Lembut, kasih sayang
Simbol: Bimbingan dan pendampingan
Makna spiritual:
Kinanthi berarti “diiringi”. Pada fase ini, seseorang masih butuh dituntun. Ia belajar welas asih, sinau kawruh, dan memahami nilai-nilai luhur. Dalam Kejawen, kinanthi melambangkan pentingnya guru sejati (sat guru) dalam perjalanan batin seseorang.
5. Asmaradana
Watak: Cinta, gejolak
Simbol: Rasa dan nafsu dunia
Kutipan populer:
Asmaradana nyaritakaké rasa asmara kang nggegeraké,
Fase ini penuh gejolak cinta dan hawa nafsu. Namun dalam spiritualitas Jawa, cinta adalah simbol dari kerinduan jiwa terhadap asalnya — Sang Pencipta. Jika tidak dijaga, cinta menjadi ilusi duniawi. Namun jika dituntun, cinta menjadi energi ilahiah yang membawa pada penyatuan.
6. Gambuh
Watak: Serius, tanggung jawab
Simbol: Pernikahan, kehidupan sosial
Filosofi dalam Kejawen:
Gambuh artinya “bertemu dan menyatu”. Dalam kehidupan, ini fase ikatan, tanggung jawab, dan pengabdian. Dalam konteks spiritual, ini tentang kesatuan antara dhiri (jiwa) dan laku hidup.
7. Dhandhanggula
Watak: Bahagia, kematangan
Simbol: Puncak kehidupan
Makna mendalam:
Dhandhanggula adalah fase kematangan batin. Orang mulai melihat dunia dengan kebijaksanaan. Kata "gula" menandakan manisnya hidup yang dipahami sebagai anugerah. Dalam Kejawen, ini fase di mana seseorang mulai mendekat pada suwung — kehampaan yang penuh makna.
8. Durma
Watak: Marah, agresif
Simbol: Ujian spiritual
Kutipan dari Serat Centhini:
Durma iku pralambanging angkara murka kang kudu dikendhaleni,
Durma adalah fase konflik batin, ego, dan hawa nafsu kembali muncul. Ini ujian besar bagi seorang yang sudah “dewasa”. Dalam laku tapa, ini fase perang batin melawan setan angkara (setan batin).
9. Pangkur
Watak: Menyepi, menjauh dari dunia
Simbol: Laku tapa
Makna spiritual:
Pangkur berasal dari kata “mungkur” atau menjauh. Ini fase seseorang mulai menarik diri dari dunia, memilih jalan spiritual, dan mendekati makna sejati kehidupan. Seperti tapa brata, laku ini penuh pengendalian diri dan kesadaran.
10. Megatruh
Watak: Perpisahan, kesedihan
Simbol: Ajal dan akhir kehidupan
Interpretasi:
Megat = putus, Ruh = roh. Megatruh adalah simbol kematian fisik. Namun dalam Kejawen, kematian bukan akhir, melainkan kembali ke asal — Sang Sangkan Paraning Dumadi.
11. Pocung
Watak: Lelucon, ringan, jenaka
Simbol: Perjalanan akhir
Makna batin:
Pocung berasal dari “pocong”, namun memiliki nada ringan. Menariknya, tembang ini mengajarkan bahwa bahkan kematian harus disikapi dengan kelapangan hati. Dalam Kejawen, suwung adalah puncak kesadaran — kosong namun penuh.
Tembang sebagai Jalan Spiritual
Tembang macapat sejatinya bukan hanya karya sastra, tapi suluk (laku) menuju kasunyatan. Dalam Serat Wedhatama, Ki Mangkunegara IV menyatakan:
“Yen eling lan waspada, ing ngendi papan lan wektu, bakal pinaringan pituduh.”
(Jika senantiasa ingat dan waspada, di manapun tempat dan waktu, akan diberikan petunjuk.)
Tembang tidak sekadar dilantunkan, tetapi diresapi. Dalam tiap irama dan syairnya, tersimpan petunjuk hidup, tuntunan moral, dan pengingat akan asal dan tujuan kita.
Dalam wawancaranya, Dr. Purwadi, budayawan Jawa, menegaskan:
“Tembang macapat adalah filsafat hidup orang Jawa yang dibungkus dalam bentuk estetik dan musikal. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga menuntun.”
Tantangan di Era Modern
Sayangnya, di tengah gemuruh budaya populer dan teknologi digital, tembang macapat makin terpinggirkan. Anak muda Jawa lebih akrab dengan lagu TikTok daripada kidung nenek moyang mereka. Di banyak sekolah, pelajaran tembang hanya formalitas — dinyanyikan tanpa makna, dihafal tanpa rasa.
Di media sosial, jarang sekali kita temui konten yang membahas tembang macapat secara menarik. Padahal, jika dikemas dengan kreatif, tembang ini bisa menjadi “self-help” versi lokal — lebih dekat, lebih mengakar.
Kembali ke Akar
Tembang macapat bukan sekadar warisan budaya — ia adalah jalan pulang. Dalam tiap baitnya, kita menemukan kembali arah hidup, suara batin, dan identitas sebagai wong Jawa. Di era di mana segala sesuatu serba cepat, tembang mengajak kita melambat, merenung, dan memahami hidup secara utuh.
Maka mari kita rawat tembang, bukan sekadar sebagai tradisi, tetapi sebagai laku spiritual. Karena sejatinya, tembang macapat bukan hanya tembang — ia adalah doa, petuah, dan peta pulang ke dalam diri.