Serat Centhini, juga dikenal sebagai Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra paling monumental dalam khazanah kebudayaan Jawa. Disebut-sebut sebagai "ensiklopedia budaya Jawa", teks ini bukan sekadar karya sastra, melainkan sebuah panorama besar tentang kehidupan orang Jawa dalam segala aspeknya—agama, filsafat, seksualitas, pertapaan, kuliner, kesenian, hingga pengobatan tradisional.

 

Latar Belakang Sejarah

Serat Centhini disusun pada masa pemerintahan Paku Buwana V dari Surakarta (1814–1820), atas perintah sang raja sendiri. Penyusun utamanya adalah tiga pujangga istana: Ranggasutrasna, Yasadipura II, dan Sastradipura. Mereka diberi tugas untuk menyusun sebuah karya sastra besar yang mencerminkan kekayaan budaya, pengetahuan, dan spiritualitas Jawa. Hasilnya adalah teks setebal ribuan halaman dalam bentuk tembang macapat, terdiri atas 12 jilid.

Nama “Centhini” sendiri diambil dari salah satu tokoh perempuan dalam cerita tersebut—seorang abdi yang setia, cerdas, dan berpengaruh dalam kisah pengembaraan tokoh utama: Jayengresmi alias Amongraga.

 

Alur Cerita

Cerita dalam Serat Centhini berporos pada kisah Amongraga, putra Sunan Giri dari Gresik, yang mengembara mencari makna hidup, ilmu sejati, dan cinta sejatinya. Setelah menikah dengan Tembangraras, Amongraga merasa terdorong untuk mencari ilmu spiritual dan kebijaksanaan dunia. Perjalanan ini membawanya berkelana ke berbagai pelosok tanah Jawa, bertemu dengan pertapa, ulama, seniman, dukun, petani, pelacur, dan orang-orang biasa yang masing-masing memberikan potongan mozaik kehidupan.

Selama perjalanan ini, tokoh Amongraga menyerap banyak ajaran: dari tasawuf Islam, kebatinan Jawa, hingga praktik hidup sehari-hari. Ia mendalami ilmu kanuragan (kekuatan batin), tapa brata (laku spiritual), dan tak jarang juga dihadapkan pada pengalaman sensual yang terang-terangan diceritakan.

 

Kandungan Ilmu dan Budaya

Salah satu hal paling luar biasa dari Serat Centhini adalah kelengkapan topiknya. Kita bisa melihat Serat Centhini sebagai kumpulan pengetahuan rakyat Jawa dari masa lampau. Berikut adalah beberapa bidang pengetahuan yang termuat di dalamnya:

1. Ilmu Kejawen dan Mistisisme

Banyak bagian dari Serat Centhini membahas konsep spiritualitas Kejawen seperti manunggaling kawula gusti, suwung, tapa ngeli, dan ajaran tentang menyatunya manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta. Misalnya:

“Yen urip ngadhep marang rasa, kabeh bakal ngalir kanthi tentrem. Rasa iku sabda Gusti.”

Kutipan ini mencerminkan filsafat Jawa bahwa keheningan batin (rasa) adalah jalan utama menuju pemahaman ilahiah.

2. Tembang dan Sastra

Keseluruhan Serat Centhini ditulis dalam bentuk tembang macapat. Setiap pupuh memiliki suasana dan nilai filosofisnya masing-masing—Dhandhanggula untuk cerita yang indah, Kinanthi untuk nasihat, Asmaradana untuk kisah asmara, dan seterusnya. Tembang-tembang ini menjadi medium yang harmonis untuk menyampaikan cerita sekaligus ajaran moral dan spiritual.

3. Pendidikan Seksualitas

Serat Centhini terkenal karena keterbukaannya dalam membahas seksualitas. Tidak dalam konteks vulgar, melainkan sebagai bagian alami dari kehidupan manusia yang perlu dipahami dan dimaknai. Ilmu tentang hubungan suami-istri, kenikmatan batiniah, hingga berbagai teknik hubungan seksual digambarkan secara eksplisit. Hal ini menjadikan Serat Centhini sebagai salah satu naskah pendidikan seks tertua dalam budaya Jawa.

Namun, pembahasan semacam ini sering disalahpahami jika tidak dilihat dalam konteks spiritual dan budaya. Di masa lalu, seks dipahami bukan hanya sebagai pemenuhan hasrat, tetapi juga sebagai sarana penyatuan jiwa dan raga, dan bahkan bisa menjadi jalan spiritual.

4. Kuliner dan Obat Tradisional

Dalam beberapa bagian, Amongraga dan rombongannya digambarkan makan berbagai masakan khas Jawa. Nama-nama makanan, cara membuatnya, bahkan bahan-bahan yang digunakan disebutkan dengan rinci. Begitu pula dengan racikan jamu dan ramuan obat tradisional, yang menunjukkan bagaimana orang Jawa merawat kesehatannya dengan bahan alami dari sekitar mereka.

5. Kearifan Lokal dan Etika Sosial

Dari cara bertamu, berpakaian, menyapa orang tua, hingga memilih hari baik untuk bepergian—semua itu termuat di Serat Centhini. Ia menjadi cermin bagaimana masyarakat Jawa hidup penuh tata krama, mengutamakan harmoni, dan selalu mempertimbangkan keseimbangan kosmis dalam setiap tindakannya.

 

Serat Centhini dan Islam

Serat Centhini juga memuat ajaran Islam, namun dalam pendekatan yang sangat “Jawa”. Tasawuf Islam hadir berdampingan dengan ajaran-ajaran lokal. Banyak ulama yang muncul sebagai guru spiritual dalam cerita, mengajarkan zikir, syariat, hingga tarekat kepada Amongraga. Namun semua ini disampaikan dalam bahasa dan simbol-simbol Jawa, mencerminkan proses akulturasi yang damai antara Islam dan budaya lokal.

 

Nilai Penting Bagi Generasi Kini

Serat Centhini mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan. Dalam perjalanan itu, kita tak hanya mencari ilmu luar, tetapi juga pencarian ke dalam diri—mengenal siapa diri ini, dari mana asalnya, dan ke mana akan kembali. Di era modern ini, saat banyak orang merasa hampa meskipun hidup dalam kemajuan teknologi, pelajaran dari Serat Centhini menjadi relevan kembali.

Kita diajak untuk kembali menyelami nilai-nilai kesederhanaan, kesadaran diri, pengendalian nafsu, dan pentingnya membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan.

 

Kontroversi dan Pelestarian

Meski luar biasa, Serat Centhini tidak luput dari kontroversi. Beberapa kalangan menganggap teks ini terlalu vulgar karena deskripsi hubungan seksualnya yang detail. Namun, jika dilihat dalam konteks budaya dan spiritualitas Jawa, teks ini justru mencerminkan keterbukaan, kedewasaan, dan pemahaman utuh terhadap manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.

Sayangnya, tidak banyak generasi muda yang mengenal Serat Centhini. Bahasa Jawa Kuno yang digunakan cukup rumit, dan penyajiannya pun cukup panjang. Upaya pelestarian dan penyederhanaan—misalnya dalam bentuk terjemahan, adaptasi cerita, atau pembacaan ulang dalam bentuk modern—sangat dibutuhkan agar warisan ini tetap hidup. Salah satu karya penting yang bisa membantu kita adalah versi saduran atau novelisasi Serat Centhini dalam bahasa Indonesia oleh Agus Wahyudi. lengkap 12 jilid.

*****

Serat Centhini adalah cermin jernih kebudayaan Jawa: kompleks, lembut, spiritual, namun juga membumi. Ia bukan sekadar karya sastra, tetapi ensiklopedia kehidupan. Di dalamnya, tertuang semangat manusia Jawa untuk memahami kehidupan secara utuh—dari rasa hingga raga, dari yang paling luhur hingga yang paling duniawi.

Jika kita ingin memahami siapa kita sebagai bagian dari budaya Nusantara, maka membaca dan mempelajari Serat Centhini adalah langkah penting untuk kembali ke akar—sebelum kita melangkah lebih jauh ke masa depan.