Budaya Jawa kaya akan filosofi kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai luhur. Tidak hanya soal kesopanan atau cara bertutur, tetapi juga menyentuh aspek tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Salah satu ungkapan yang mencerminkan hal itu adalah "Sapa Salah Seleh". Di balik kesederhanaannya, peribahasa ini memuat makna mendalam yang mengaitkan individu dengan etika sosial dan akuntabilitas.
Di sisi lain, dunia Barat juga mengenal konsep accountability — sebuah prinsip penting dalam kepemimpinan, organisasi, dan kehidupan pribadi. Lalu, bagaimana sebenarnya "sapa salah seleh" dalam budaya Jawa bersinggungan dengan accountability di budaya Barat? Apakah keduanya sejalan, bertentangan, atau justru saling melengkapi? Mari kita bahas lebih lanjut.
Apa Itu "Sapa Salah Seleh"?
Frasa sapa salah seleh berasal dari bahasa Jawa yang secara harfiah berarti “siapa yang salah, mengalah.” Dalam konteks budaya Jawa, ungkapan ini tidak bisa diartikan secara hitam-putih. Di permukaan, tampaknya seperti ajakan untuk menghindari konflik—meskipun kamu berada di posisi yang benar.
Makna Filosofis
Namun, esensinya jauh lebih dalam. “Sapa salah seleh” mengajarkan tentang kerendahan hati dan tanggung jawab personal. Nilai ini mendorong seseorang yang merasa bersalah untuk secara sukarela mundur, menundukkan ego, dan meletakkan persoalan untuk menjaga keharmonisan sosial. Ini menunjukkan keberanian moral, bukan kelemahan.
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
- Dalam keluarga, seseorang yang tahu bahwa ia bersalah akan memilih untuk mengalah dan meminta maaf, meskipun tidak ditegur secara langsung.
- Di lingkungan masyarakat, orang yang bersalah akan mengambil inisiatif berdamai dan memperbaiki keadaan demi ketentraman bersama.
- Dalam kepemimpinan Jawa, seorang pemimpin yang bijak tidak segan mengakui kesalahan dan mengambil alih tanggung jawab atas kegagalan organisasi.
Konsep ini sangat kental dalam prinsip hidup masyarakat Jawa tradisional, di mana harmoni, rasa malu (isin), dan tepo seliro (empati terhadap orang lain) sangat dijunjung tinggi.
Accountability dalam Perspektif Barat
Sementara itu, budaya Barat mengembangkan konsep accountability, yang bisa diterjemahkan sebagai “akuntabilitas” atau “tanggung jawab atas hasil dan tindakan.” Berbeda dengan pendekatan Jawa yang lebih implisit dan sosial, accountability Barat lebih terstruktur dan bersifat terbuka.
Prinsip-Prinsip Accountability
Accountability mencakup beberapa aspek:
- Transparansi: Proses dan keputusan harus bisa ditinjau oleh publik atau stakeholder terkait.
- Pertanggungjawaban formal: Seseorang diharapkan menyusun laporan, data, atau bukti untuk menunjukkan bahwa dia menjalankan peran sesuai ekspektasi.
- Konsekuensi: Bila seseorang melakukan kesalahan, ia harus siap menghadapi hukuman atau konsekuensi yang berlaku.
Konsep ini sangat diaplikasikan dalam dunia profesional dan pemerintahan di Barat. Misalnya, seorang CEO yang perusahaannya mengalami krisis harus tampil di depan publik untuk menjelaskan dan mengambil tanggung jawab. Sistem hukum pun dibangun berdasarkan prinsip accountability.
Perbandingan Sapa Salah Seleh vs Accountability
Meskipun berbeda dari segi pendekatan dan ekspresi, sebenarnya sapa salah seleh dan accountability memiliki tujuan yang sama: mendorong individu untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Namun masing-masing memiliki karakteristik khas.
1. Basis Nilai Sosial vs Sistem Formal
Sapa salah seleh dijiwai oleh nilai sosial dan moral. Ia tak membutuhkan sistem hukum atau struktur manajerial; cukup hati nurani dan rasa tanggung jawab pribadi. Sedangkan accountability biasanya ditegakkan melalui mekanisme struktural, sistem kontrol, dan regulasi.
2. Implikasi Kolektif vs Pribadi
Dalam budaya Jawa, tindakan individu berdampak pada keharmonisan kolektif. Maka, mengalah demi menjaga ketenteraman bersama dianggap perbuatan mulia. Accountability lebih berfokus pada hasil dan tanggung jawab personal yang seringkali bisa diisolasi dari konteks sosial yang lebih luas.
3. Budaya Malu dan Rasa Empati vs Konsekuensi Hukum
Pada nilai Jawa, seseorang sadar akan kesalahan karena adanya rasa malu (isin) dan empati. Tidak perlu laporan atau audit agar seseorang bertindak bertanggung jawab. Di sisi lain, accountability cenderung mengandalkan dokumentasi dan bukti nyata untuk menilai kesalahan secara objektif.
Dimana Titik Temu Keduanya?
Meski pendekatannya berbeda, sapa salah seleh dan accountability memiliki potensi untuk saling menyempurnakan. Dalam dunia modern saat ini, banyak organisasi dan individu yang bisa memadukan nilai-nilai moral Jawa dan prinsip profesional Barat.
Bayangkan seorang pemimpin organisasi yang mengakui kesalahan bukan karena takut dilaporkan, tapi karena sadar secara moral bahwa tindakannya salah. Ia bukan hanya transparan dalam laporan formal, tapi juga menunjukkan empati kepada tim, klien, dan masyarakat. Bukankah itu bentuk tanggung jawab ideal?
Menghidupkan Nilai Tanggung Jawab dalam Dunia Modern
Dalam masyarakat Indonesia yang kini semakin plural dan global, konsep “sapa salah seleh” masih sangat relevan, apalagi jika dipadukan dengan framework accountability modern. Mari kita lihat contohnya dalam beberapa konteks:
Dalam Pendidikan
- Guru tidak hanya mengoreksi murid secara akademis, tapi juga memberi teladan tanggung jawab moral.
- Siswa yang membuat kesalahan tidak hanya dihukum berdasarkan aturan, tetapi juga diajak merenung dan memahami dampaknya terhadap orang lain.
Dalam Dunia Kerja
- Karyawan yang telat menyelesaikan tugas tidak hanya membuat laporan perbaikan, tetapi juga meminta maaf dan menawarkan solusi.
- Atasan yang salah membuat keputusan tidak hanya di-review oleh direksi, tetapi juga secara manusiawi meminta maaf pada tim.
Dalam Kehidupan Sehari-hari
- Seseorang yang menabrak kendaraan lain tidak hanya menyelesaikan secara hukum atau asuransi, tetapi juga meminta maaf kepada korbannya dengan tulus.
- Di media sosial, pengguna yang viral karena salah info tidak hanya menghapus konten, tapi juga membuat klarifikasi dan mohon maaf.
Menjaga Keseimbangan Antara Timur dan Barat
Kadang kita terjebak dalam dikotomi: tradisional vs modern, Timur vs Barat. Padahal, harmoni muncul dari keseimbangan. Filosofi sapa salah seleh menanamkan kesadaran moral dari dalam, sedangkan prinsip accountability memberikan struktur dan kontrol dari luar.
Jika keduanya bisa berjalan beriringan, kita akan hidup di dunia yang tidak hanya tertib secara sistem, tetapi juga adem secara batin. Dunia yang tidak hanya mengejar benar secara hukum, tapi juga adil secara manusiawi.
*****
Sapa salah seleh adalah contoh luhur dari bagaimana masyarakat Jawa memahami tanggung jawab. Ia bukan tentang kalah atau menyerah, tetapi tentang keberanian mengakui kesalahan demi kebaikan bersama. Di sisi lain, accountability dari budaya Barat menekankan pentingnya pertanggungjawaban secara sistemik dengan ukuran yang jelas.
Dalam dinamika masyarakat masa kini, keduanya bisa saling melengkapi: moralitas dan sistem, inner voice dan external control. Sebab, pada akhirnya, tanggung jawab pribadi bukan hanya tugas, tapi juga bentuk kedewasaan. Jadi, mari kita hidupkan semangat sapa salah seleh dalam kehidupan sehari-hari, dengan tetap belajar dari prinsip-prinsip accountability modern.
Sebab siapa pun bisa bersalah—tapi hanya yang bertanggung jawablah yang jadi dewasa.