Dalam khazanah falsafah Jawa, terdapat satu ajaran yang sangat mendalam dan penuh makna: Sangkan Paraning Dumadi. Ajaran ini tak hanya menjadi bagian dari kepercayaan spiritual masyarakat Jawa, tapi juga menjadi fondasi dalam menjalani hidup yang seimbang, bijaksana, dan penuh kesadaran.
Secara harfiah, sangkan paraning dumadi berarti “asal dan tujuan dari segala kejadian (ciptaan)”. Ini mencerminkan sebuah pemahaman filosofis tentang asal-usul manusia dan ke mana akhirnya kita akan kembali. Lebih dari sekadar ajaran metafisik, filosofi ini mengajak kita untuk merenungkan jati diri, arah hidup, dan koneksi kita dengan semesta serta Tuhan Yang Maha Esa.
Makna “Sangkan Paraning Dumadi”
Mari kita uraikan maknanya menjadi dua bagian:
-
Sangkan: berasal dari kata saka yang berarti asal atau dari mana. Dalam konteks ini, menunjuk pada asal muasal kehidupan—baik secara biologis maupun spiritual. Dalam tradisi Kejawen, sangkan sering dikaitkan dengan Sang Hyang Tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber dari segala kehidupan.
-
Paraning Dumadi: berarti tujuan akhir dari semua ciptaan atau makhluk hidup. Paran bermakna tempat tujuan, dan dumadi berarti makhluk atau ciptaan. Ini menunjuk pada ke mana semua makhluk hidup akan kembali, yakni kepada asalnya, yaitu Tuhan.
Dengan demikian, sangkan paraning dumadi mencerminkan siklus kehidupan manusia: dari Tuhan, kembali kepada Tuhan. Dalam pemahaman spiritual Jawa, hidup bukan sekadar lahir, tumbuh, dan mati. Hidup adalah perjalanan spiritual untuk kembali pada kesucian asal.
Ajaran Filosofis yang Menyatu dengan Kehidupan
Filosofi ini tidak berhenti di ranah pemikiran atau konsep abstrak saja. Ia hadir dalam berbagai praktik budaya Jawa: mulai dari ritual kelahiran, selametan, tirakat, tapa, hingga tradisi kematian. Semua memiliki satu benang merah: membantu manusia menyadari jati dirinya sebagai makhluk spiritual yang sedang “mulih marang asal”.
Dalam tembang macapat, khususnya pada Pangkur dan Pocung, kita bisa menemukan nasihat-nasihat tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dengan kesadaran bahwa hidup ini fana dan tujuan utamanya adalah kembali kepada sang sumber.
Relevansi di Era Modern
Meskipun berasal dari masa lampau, ajaran sangkan paraning dumadi sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali penuh kebisingan, kesibukan, dan kehilangan makna. Di tengah arus globalisasi dan materialisme, banyak orang merasa kehilangan arah—hidup seakan dijalani hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tanpa menyentuh sisi spiritual.
Filosofi ini mengajak kita untuk tidak lupa dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Ia menawarkan perspektif hidup yang lebih dalam, menekankan pentingnya kesadaran dalam bertindak, berpikir, dan merasa. Hidup menjadi bukan sekadar pencapaian luar, tetapi juga perjalanan batin yang penuh makna.
Tips Penerapan “Sangkan Paraning Dumadi” di Masa Kini
Agar ajaran luhur ini tidak hanya menjadi jargon atau wacana, berikut beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari:
1. Mulai dengan Kesadaran Diri (Eling lan Waspada)
Sadari bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam hidup ini harus disertai dengan niat yang jernih dan kesadaran akan tujuan akhir. Tidak hanya mengejar keberhasilan duniawi, tapi juga menjaga nilai-nilai luhur dalam prosesnya.
“Eling” berarti selalu ingat kepada Tuhan dan jati diri kita, sementara “waspada” artinya berhati-hati dalam tindakan, agar tidak terjerumus pada nafsu dan ego.
2. Berbuat Baik sebagai Bekal Kembali
Jika hidup adalah perjalanan menuju “asal mula”, maka perbuatan baik adalah bekal terbaik. Entah itu melalui sedekah, tolong-menolong, atau menjaga lingkungan—semua bisa menjadi jalan menuju keseimbangan batin.
3. Berguru pada Alam
Dalam falsafah Jawa, alam semesta adalah guru yang bijaksana. Matahari yang terbit dan terbenam mengajarkan bahwa segala sesuatu ada awal dan akhir. Air yang mengalir menunjukkan pentingnya kelenturan dalam hidup. Dengan memaknai alam, kita belajar untuk hidup selaras.
4. Menjaga Harmoni dengan Sesama
Hubungan kita dengan orang lain adalah cerminan dari hubungan kita dengan Sang Pencipta. Jangan sampai hidup hanya dipenuhi persaingan, dendam, atau iri hati. Latihlah diri untuk selalu mawas diri, sabar, dan rendah hati.
5. Menjadikan Kematian sebagai Pengingat, Bukan Ketakutan
Alih-alih ditakuti, kematian sebaiknya dilihat sebagai bagian dari paraning dumadi—saat kita pulang ke asal. Dengan menyadari itu, kita jadi lebih bijak dalam menyikapi waktu, memanfaatkan hidup, dan tidak menunda hal-hal baik.
6. Melatih Keheningan (Tapa Batin)
Sesekali menjauh dari keramaian dan merenung dalam keheningan bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri dengan jati diri. Ini bisa dilakukan lewat meditasi, semedi, atau bahkan sekadar duduk diam merenungkan perjalanan hidup.
Hidup sebagai Laku Spiritual
Sangkan paraning dumadi bukanlah ajaran yang eksklusif bagi orang Jawa. Nilai-nilainya bersifat universal. Ia mengajarkan bahwa hidup ini adalah perjalanan pulang, dan selama perjalanan itu, kita diberi kesempatan untuk belajar, memperbaiki diri, dan menjadi cahaya bagi sesama.
Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, filosofi ini mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah langkahku hari ini mendekatkanku kepada asal-mulaku?”
Dengan menjadikan hidup sebagai laku spiritual, kita tak hanya menjadi manusia yang sukses di dunia, tapi juga bijak, tenang, dan damai dalam menjalani kehidupan.
“Urip mung mampir ngombe, nanging sakdurunge mulih, yuk kita ngombe sejatine urip: ngelingi sangkan paraning dumadi.”