Di tengah kehidupan sosial yang semakin kompleks saat ini, nilai-nilai kearifan lokal kerap terlupakan. Padahal, banyak sekali filosofi lama yang masih relevan untuk menjaga keharmonisan hidup bersama. Salah satu pepatah Jawa yang kaya makna adalah "Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah". Kalimat bijak ini mengandung pesan mendalam soal pentingnya kerukunan sosial untuk menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai.
Di sisi lain, dalam dunia filsafat Barat, Jean-Jacques Rousseau mengemukakan konsep social contract — kontrak sosial yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat dan pemerintahan yang sah. Nah, menariknya, meskipun lahir dari latar budaya yang berbeda, antara pepatah Jawa dan pemikiran Rousseau memiliki benang merah yang sama: sama-sama menekankan pentingnya harmoni dalam hidup bermasyarakat.
Makna Filosofis: Rukun dan Crah dalam Budaya Jawa
Dalam budaya Jawa, setiap kata dan ungkapan tidak sekadar susunan bunyi, tetapi mengandung filosofi hidup yang mendalam. Rukun Agawe Santosa secara harfiah berarti "kerukunan membawa kemakmuran", sedangkan Crah Agawe Bubrah berarti "pertikaian membawa kehancuran". Jika dipikir-pikir, ini adalah gambaran mini dari hubungan sosial dalam masyarakat secara umum.
Kerukunan sebagai Pilar Harmoni
Orang Jawa sangat menjunjung tinggi nilai kerukunan. Jangan heran jika dalam banyak komunitas tradisional Jawa, ada semacam mekanisme informal untuk menjaga kebersamaan. Seperti gotong royong, rembukan (musyawarah), dan toleransi. Ketika seseorang dianggap “nggak rukun” atau memicu perpecahan, ia biasanya akan ditegur halus atau bahkan dikucilkan dari komunitas.
Nilai rukun menjadi semacam norma yang tidak tertulis namun dipatuhi secara sadar oleh masyarakat. Dalam pesta pernikahan, pembangunan rumah, hingga peristiwa duka, masyarakat biasanya saling bantu-membantu dengan semangat rukun tersebut.
Crah: Anatomi Pertikaian dalam Lensa Jawa
Di sisi lain, crah atau pertikaian dianggap sebagai musuh bersama. Menariknya, orang Jawa cenderung menghindari konflik terbuka. Bukan berarti semua orang setuju pada satu hal, tetapi karena konflik dianggap sebagai penyebab “bubrah” atau kehancuran, maka penyelesaiannya diupayakan sehalus mungkin.
Inilah sebabnya muncul istilah seperti sungkan, andhap asor, atau tanggap ing sasmita — semua menunjuk pada norma kesopanan dan kepekaan sosial yang menghindari gesekan dalam masyarakat. Jadi, kalau dibilang budaya Jawa adalah budaya harmoni, itu bukan basa-basi. Itu fakta yang dibangun dari filosofi lama yang masih relevan hingga sekarang.
Rousseau dan Konsep Kontrak Sosial
Jean-Jacques Rousseau, filsuf Prancis abad ke-18, dikenal dengan teorinya tentang the social contract. Dalam bukunya Du Contrat Social (1762), ia menyatakan bahwa masyarakat yang baik terbentuk dari kesepakatan antara individu untuk hidup bersama dalam aturan yang disepakati bersama demi kebaikan bersama.
Manusia dan Kebebasan Alamiah
Rousseau percaya bahwa pada dasarnya manusia itu bebas, tetapi hidup dalam masyarakat membuat kita harus menyerahkan sebagian kebebasan itu demi ketertiban dan keadilan. Ia mengatakan, "Manusia dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu." Maka muncullah ide kontrak sosial — kesepakatan bersama yang mewujudkan volonté générale atau kehendak umum.
Kesepakatan Kolektif untuk Keadilan
Kontrak sosial menurut Rousseau adalah cara untuk menciptakan tatanan sosial yang adil. Bukan karena ketakutan terhadap hukuman (seperti dalam teori Thomas Hobbes), tetapi karena kesadaran kolektif bahwa hidup bersama memerlukan aturan main yang disepakati. Persis seperti filosofi rukun agawe santosa dalam budaya Jawa, di mana keharmonisan dicapai melalui hubungan sosial yang didasarkan pada kerja sama, empati, dan kesadaran bersama.
Persilangan Nilai Timur dan Barat: Titik Temu yang Menginspirasi
Walau Rousseau lahir jauh sebelum kita mengenal konsep-konsep kebudayaan Jawa secara modern, ternyata banyak benang merahnya. Meskipun pendekatannya berbeda — Rousseau melalui filsafat rasional, orang Jawa melalui budaya dan tradisi — tujuan akhirnya serupa: masyarakat yang damai dan harmonis.
Kontrak Sosial ala Jawa?
Jika Rousseau berbicara soal kontrak secara eksplisit — antara warga dan negara, antara individu dan kolektif — budaya Jawa memiliki versi 'kontrak sosial' yang tidak tertulis. Bentuknya berupa norma, adat istiadat, serta sikap saling menjaga perasaan. Ini bisa dianggap sebagai kontrak moral dan budaya, yang fungsinya hampir sama: menjaga stabilitas dan kebahagiaan sosial.
Gotong Royong Sebagai Ekspresi Kontrak Sosial
Contoh paling nyata adalah gotong royong. Tradisi ini bukan hanya kerja bakti membersihkan lingkungan, tetapi juga bentuk partisipasi sosial atas dasar sukarela. Tidak ada paksaan, hanya saling pengertian. Jadi, ini semacam realisasi nilai-nilai kontrak sosial dalam konteks budaya Jawa.
- Membantu tetangga yang hajatan
- Ikut serta dalam pos ronda
- Patungan saat ada musibah
Semua itu bagian dari kesepakatan tak tertulis yang dijaga oleh norma sosial dan rasa malu (jika melanggarnya).
Relevansi Pepatah Jawa di Masa Kini
Jauh dari sekadar pepatah lama yang bisa ditemui di dinding rumah atau ditulis di kaligrafi tradisional, “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” sebetulnya sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern. Di era media sosial, misalnya, pertengkaran kecil bisa membesar jadi perpecahan sosial. Kita bisa belajar banyak dari orang Jawa yang cenderung menghindari konflik terbuka dan berupaya menyatukan yang tercerai.
Begitu pula dalam ranah politik dan pemerintahan. Kebijakan apapun akan berjalan baik jika lahir dari semangat rukun, musyawarah, dan kerja sama. Jika yang terjadi justru 'crah', pemerintah dan rakyat akan bubrah alias kehilangan arah dan tak mampu mencapai tujuan bersama.
Menjadikan Nilai Rukun Sebagai Panduan Hidup Modern
Nilai rukun tidak harus membuat kita pasif. Justru sebaliknya, ia adalah jalan menuju transformasi sosial yang lebih arif dan berkelanjutan. Dengan menjunjung kerukunan, kita belajar menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, bicara tanpa menyakiti, dan hidup berdampingan meski berbeda pandangan.
*****
Pepatah “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah” bukan sekadar nasehat moral. Ia adalah panduan hidup yang telah teruji zaman. Begitu pula pemikiran Rousseau, meski berasal dari Eropa berabad-abad lalu, tetap menyentuh inti persoalan manusia: bagaimana hidup bersama secara adil?
Mari kita belajar dari keduanya, dari Timur dan Barat. Hidup dalam harmoni bukan hal yang mustahil, asalkan kita mau berkomitmen pada kontrak sosial — baik yang tertulis maupun yang spiritual dan kultural. Sebab pada akhirnya, kerukunan bukan hanya urusan budaya, tapi juga jalan menuju peradaban yang damai dan sejahtera.