Kalau kamu pernah mampir ke angkringan atau warung kaki lima di Jawa, pasti kamu tidak asing dengan pemandangan orang-orang duduk bersila, beralaskan tikar atau karpet sederhana—itulah yang disebut "lesehan". Tapi tahukah kamu, di balik aktivitas ngobrol santai sambil lesehan ini, terdapat filosofi mendalam tentang kesederhanaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa?
Apa Itu Lesehan?
Lesehan berasal dari kata dasar “leseh” dalam bahasa Jawa yang berarti duduk dengan posisi kaki disilangkan di lantai atau tanah. Budaya duduk lesehan ini bukan hanya sekadar gaya duduk, tetapi telah menjadi simbol kebersamaan, keakraban, dan tentu saja, kesederhanaan.
Biasanya, lesehan dilakukan di warung makan, angkringan, teras rumah, atau lesehan pinggir jalan. Orang-orang dari berbagai latar belakang duduk sama rendah, tanpa kursi, tanpa meja mewah—hanya tikar atau alas seadanya sebagai media keakraban. Ini menjadi ruang terbuka untuk berbagi cerita, menyampaikan keluh kesah, bahkan membahas ide-ide besar secara santai.
Ngobrol Santai, Tapi Penuh Makna
Orang Jawa terkenal halus dalam berbahasa dan bersikap. Ini tercermin dalam budaya ngobrol santai di lesehan. Jangan kaget kalau obrolan-obrolan lesehan yang terdengar ringan ternyata sangat bermakna. Mulai dari ngobrolin harga cabai, konflik RT, sampai diskusi kebangsaan—semuanya bisa dibahas dengan penuh tawa dan hikmah.
Komunikasi Setara Tanpa Sekat
Duduk lesehan membuat semua orang berada di posisi yang sama. Tidak ada kursi yang tinggi, tidak ada sekat antara atasan dan bawahan. Ini memberikan ruang terbuka bagi komunikasi egaliter. Dalam konteks budaya Jawa yang menjunjung tinggi kerukunan dan harmoni sosial, lesehan menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarmanusia.
Rileks, Tapi Beretika
Meskipun suasana lesehan itu santai, bukan berarti bebas tanpa aturan. Orang Jawa punya etika sopan santun dalam berbicara dan bertindak, terutama saat berada dalam situasi kumpul bersama. Nada bicara tetap sopan, lelucon tidak melukai, dan gestur tetap dijaga. Di balik tawa, selalu ada batasan yang tidak diucapkan, tapi dimengerti bersama.
Filosofi Kesederhanaan dalam Budaya Jawa
Orang Jawa sangat menjunjung tinggi nilai kesederhanaan. Dalam prinsip kehidupan mereka, ada konsep “narimo ing pandum” yang berarti menerima apa yang diberikan Tuhan dengan ikhlas. Lesehan mencerminkan falsafah ini secara nyata—makan seadanya, duduk apa adanya, tapi selalu merasa cukup dan bahagia.
Kesederhanaan yang Membumi
Dalam budaya Jawa, kesederhanaan bukan berarti kekurangan. Justru di situlah letak kekayaan hidup. Lesehan mengajarkan bahwa kita bisa tetap nyaman, hangat, dan bahagia tanpa harus bersandar pada kemewahan. Makan dengan alas daun, meminum teh hangat dalam gelas kaca biasa, dan duduk di tikar telah cukup menghadirkan rasa syukur.
Perlambang Rendah Hati
Duduk di bawah—secara simbolis—menunjukkan kerendahan hati. Dalam budaya Jawa, sifat "andhap asor" atau rendah hati sangat dijunjung tinggi. Lesehan menjadi manifestasi konkret dari sikap tersebut. Orang Jawa merasa lebih nyaman saat bisa duduk bersama dalam suasana merakyat daripada tampil mencolok.
Lesehan Sebagai Ruang Sosial dan Budaya
Lebih dari sekadar tempat makan atau ngobrol, lesehan adalah ruang sosial yang berfungsi sebagai wadah bertukar pikiran dan membangun kebersamaan. Tidak sedikit keputusan besar yang diambil dari hasil diskusi sederhana di lesehan. Banyak komunitas, mulai dari warga kampung sampai kelompok mahasiswa dan seniman, menjadikan lesehan sebagai forum informal untuk merancang sesuatu yang serius.
Lesehan sebagai Tempat Resolusi Konflik
Dalam masyarakat pedesaan Jawa, masalah antarwarga sering diselesaikan lewat mediasi duduk bareng di tikar. Para sesepuh akan duduk lesehan bersama pihak yang berselisih, saling memberikan wejangan dalam nada kalem dan penuh hikmah. Tanpa teriak-teriak, tanpa debat panas—konflik seringkali selesai dengan satu kata kunci: "rembug".
Lesehan dalam Dunia Modern
Meskipun zaman terus berubah, budaya lesehan ternyata tetap eksis. Bahkan kini, banyak kafe dan restoran di kota besar yang justru mengadopsi konsep lesehan karena dianggap unik dan membawa kedekatan emosional. Anak muda juga banyak yang lebih nyaman nongkrong lesehan ala angkringan ketimbang duduk formal. Kenyamanan dan unsur "ngobrol santai" menjadi daya tariknya.
Cara Menikmati Lesehan Secara Otentik
Kalau kamu ingin merasakan sensasi ngobrol santai sambil lesehan ala Jawa yang autentik, berikut ini beberapa tipsnya:
- Pilih tempat yang sederhana: Angkringan atau warung tenda adalah pilihan tepat.
- Makan dengan menu lokal: Nasi kucing, sate usus, tahu bacem, dan teh manis hangat adalah pasangan pas saat lesehan.
- Berbicaralah dengan santun: Gunakan bahasa halus dan hindari dominasi dalam obrolan.
- Dengarkan orang lain: Dalam budaya Jawa, mendengarkan sama pentingnya dengan berbicara.
- Lepaskan gengsi: Duduklah seperti orang Jawa, nikmati suasana tanpa merasa canggung.
*****
Di tengah dunia modern yang penuh kesibukan dan persaingan, budaya lesehan memberi kita jeda untuk memahami arti hidup yang sesungguhnya. Dalam lesehan, kita belajar bahwa ngobrol santai sambil duduk bersila bisa jadi lebih bermakna dibanding duduk di meja bundar dalam ruang rapat ber-AC.
Budaya Jawa tidak sekadar bicara tentang adat dan tradisi, tapi juga tentang cara menjalani hidup dengan hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan sikap yang sederhana. Lesehan bukan hanya tempat untuk merebahkan badan, tapi juga tempat untuk merebahkan ego, mengeratkan hati, serta memperdalam makna hidup.
Jadi, kalau kamu merasa penat dengan dunia yang serba cepat, mungkin sudah saatnya kamu "ndeso" sejenak—cari tikar, pesan teh manis, duduk lesehan, lalu ngobrol santai dengan orang terdekat. Siapa tahu, di sanalah kamu menemukan kedamaian sesungguhnya.