Kejawen bukan sekadar sistem kepercayaan atau tradisi leluhur yang diwariskan turun-temurun. Ia adalah sebuah jalan hidup, sebuah laku batin dan fisik yang membentuk cara berpikir, merasakan, dan bertindak orang Jawa dalam kesehariannya.

Kejawen hadir bukan untuk mengatur hidup dalam kerangka dogma yang kaku, melainkan untuk menuntun manusia kembali ke inti dirinya—kepada harmoni dengan alam, sesama, dan Tuhan.

Di tengah dunia modern yang serba cepat dan pragmatis, nilai-nilai Kejawen justru menghadirkan oase: ketenangan, kesadaran diri, dan penghayatan hidup yang dalam. Kita akan menelusuri bagaimana Kejawen memadukan unsur etika, spiritualitas, dan praktik keseharian dalam membentuk laku hidup orang Jawa.

 

1. Kejawen: Jalan Tengah antara Rasa dan Rasio

Kejawen berasal dari kata “Jawa” yang diberi imbuhan ke- dan -an, menunjukkan sifat atau hal-hal yang berkaitan dengan kejawaan. Namun Kejawen bukan hanya milik orang Jawa secara etnis, tetapi siapa saja yang mau menyelami nilai-nilainya. Ia bersifat inklusif dan terbuka, tak terikat pada agama tertentu, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai ketuhanan.

Kejawen mengajarkan keseimbangan antara rasa (intuisi, batin) dan rasio (akal, logika). Dalam Kejawen, seseorang yang “bisa ngrasakake” dianggap telah menyatu dengan laku sejati. Inilah sebabnya Kejawen lebih menekankan penghayatan dan pengalaman ketimbang hafalan atau ritual semata.

Seperti tertulis dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV:

“Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani.”
(Ilmu sejati hanya bisa dicapai lewat laku, dimulai dengan kesungguhan hati dan dijalani dengan ketekunan.)

 

2. Prinsip-Prinsip Utama dalam Kejawen

Beberapa prinsip utama Kejawen yang menjadi fondasi laku hidup antara lain:

a. Sangkan Paraning Dumadi

Pemahaman akan asal dan tujuan hidup. Dalam Kejawen, manusia berasal dari Sang Sumber (Tuhan) dan akan kembali menyatu dengan-Nya. Prinsip ini menumbuhkan kesadaran bahwa hidup adalah perjalanan spiritual.

b. Manunggaling Kawula Gusti

Kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Sebuah keadaan batin yang dalam, di mana manusia tidak lagi merasa terpisah dari Sang Pencipta. Laku semedi, tapa, dan tirakat menjadi jalannya.

Seperti dalam Serat Centhini, ketika Tembang Sri Tanjung menuturkan:

“Manungsa iku anggadhahi kawruh lan rasa, kang bisa ngedohake saka kadonyan, nyedhaki marang urip langgeng.”
(Manusia itu memiliki ilmu dan rasa yang bisa menjauhkan dari duniawi dan mendekatkan pada kehidupan abadi.)

c. Memayu Hayuning Bawana

Hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memperindah dan menjaga dunia. Dalam praktiknya, ini berarti menjadi manusia yang memberi manfaat.

d. Ojo Dumeh

Jangan sombong. Sebuah nilai yang mengakar kuat dalam etika Jawa. Meski seseorang punya kekuasaan atau ilmu, ia tidak boleh jumawa.

e. Eling lan Waspada

Eling adalah kesadaran akan Tuhan dan asal-usul diri. Waspada adalah sikap hati-hati dalam bertindak. Keseimbangan keduanya menjaga manusia tetap rendah hati namun awas.

 

3. Spiritualitas yang Lembut, Tanpa Paksaan

Kejawen tidak mengenal paksaan dalam beribadah. Laku-laku spiritual seperti puasa mutih, tapa brata, semedi, atau ziarah dilakukan atas dasar kesadaran pribadi.

Justru karena tak ada tekanan, nilai spiritual yang dihasilkan terasa lebih dalam.

Dalam praktik Kejawen, semedi bukan sekadar duduk diam, tapi bentuk dialog sunyi antara kawula dan Gusti. Bukan mencari wahyu instan, melainkan membersihkan diri dari kerak duniawi dan menyentuh ketenangan sejati.

 

4. Etika Jawa: Laku yang Menata Rasa

Etika dalam Kejawen berangkat dari rasa, bukan dari aturan baku. Orang Jawa sangat menjunjung tinggi tepa slira (tenggang rasa), andhap asor (rendah hati), dan lila legawa (ikhlas).

Etika ini terlihat dalam tutur kata, sikap, dan pengambilan keputusan. Misalnya, keputusan penting tak pernah diambil secara terburu-buru, tetapi melalui perenungan dalam diam, kadang disertai lelaku tertentu.

Ki Ageng Suryomentaram, tokoh filsuf Jawa abad ke-20, berkata:

“Kebahagiaan sejati iku dudu amarga duwe apa-apa, nanging amarga ora nduweni pengarep-arep marang apa-apa.”
(Kebahagiaan sejati bukan karena memiliki sesuatu, tetapi karena tidak menggantungkan diri pada sesuatu.)

Inilah laku batin orang Jawa yang dalam: tidak berlebih-lebihan, tidak tergantung, tetapi selalu dalam kesadaran penuh atas rasa.

ilustrasi slametan ala orang Jawa

5. Praktik Keseharian: Kejawen yang Membumi

Kejawen hidup dalam dapur, sawah, langgar, dan pasar. Ia bukan milik pendeta atau resi, tapi hadir dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh praktik Kejawen yang membumi:

  • Slametan: bukan hanya ritual doa, tapi juga media menjaga harmoni sosial.

  • Mangan ora mangan kumpul: nilai kebersamaan dan kekeluargaan di atas materi.

  • Ziarah leluhur: bentuk penghormatan pada asal-usul, bukan semata-mata mistik.

  • Perhitungan weton: ikhtiar menyelaraskan waktu dan tindakan dalam keharmonisan kosmis.

Dalam Serat Centhini, disebutkan bahwa seseorang yang menjalani hidup dengan penuh rasa dan sadar terhadap waktu akan “kawilujengan sajati”—terlindungi secara lahir dan batin.

 

6. Relevansi Kejawen di Era Modern

Sebagian orang menganggap Kejawen sudah usang. Padahal, justru Kejawen mengandung nilai-nilai yang sangat relevan untuk era modern:

  • Mengajarkan mindfulness (eling lan waspada)

  • Menanamkan etika sosial dan toleransi

  • Menumbuhkan rasa syukur dan kesederhanaan

  • Menjaga koneksi dengan alam dan leluhur

Di tengah derasnya globalisasi dan tekanan hidup, Kejawen memberi alternatif jalan hidup yang lembut namun kokoh. Bukan untuk mundur dari zaman, melainkan agar kita tidak hanyut dan tetap punya akar.

 

7. Penutup: Kejawen Sebagai Cermin Diri

Menjalani Kejawen tidak harus hidup di pedesaan, mengenakan surjan, atau tinggal di padepokan. Kejawen adalah cara berpikir dan merasakan. Ia hidup dalam pilihan-pilihan kecil sehari-hari: cara kita menyapa, bersyukur, bersikap, bahkan diam.

Kejawen adalah jalan yang sunyi, tapi tidak sepi. Ia tidak menjanjikan surga instan, tapi mengantar pada kebeningan batin.

Dalam laku Kejawen, kita diajak untuk “ngerti sapa ingsun” (memahami siapa diri ini), agar tidak terombang-ambing oleh dunia luar.

Dalam bait Wedhatama yang lain, disebutkan:

“Sinamun ing samudana, sinimpen ing lukitaning kalbu.”
(Tersimpan dalam samaran, tersembunyi di kedalaman hati.)

Begitulah Kejawen: tidak mencolok, tetapi mengakar. Tidak bersuara keras, tapi menyentuh dalam. Sebuah jalan hidup yang mengajak kita pulang—bukan ke masa lalu, tapi ke dalam diri yang sejati.