Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada situasi tidak menyenangkan dengan orang lain, baik itu teman, sahabat, pasangan, ataupun keluarga. Tidak jarang, pertengkaran kecil bisa membesar hanya karena kita tidak tahu kapan harus mundur dan kapan harus berbicara. Tapi tahukah kamu, dalam budaya Jawa, ada satu filosofi halus namun mendalam untuk menghadapi konflik dengan anggun: “gajah mungkur pungkur”.
Lalu, bagaimana konsep ini bisa dikaitkan dengan teori boundaries dalam psikologi Barat? Mari kita kupas satu per satu dalam artikel ini. Duduk santai, siapkan secangkir teh, dan mari menjelajah bersama.
Apa Itu ‘Gajah Mungkur Pungkur’?
Ungkapan “gajah mungkur pungkur” berasal dari bahasa Jawa. Secara harfiah, artinya adalah dua ekor gajah yang saling membelakangi. Dalam budaya Jawa, hal ini adalah simbol dari dua pihak yang tidak ingin memicu pertikaian lebih jauh. Ketimbang saling menyerang, mereka memilih mundur dengan anggun, menjaga jarak demi terciptanya keharmonisan.
Ini adalah refleksi dari filosofi eling lan waspada (selalu sadar dan waspada), serta prinsip ngalah (mengalah untuk menang). Gajah yang saling membelakangi bukan berarti keduanya pecah hubungan, tetapi sedang memberi ruang—untuk mendinginkan kepala, berpikir jernih, dan menghindari konflik yang tidak perlu.
Simbol Kedewasaan Emosi
Dalam pemikiran Jawa, orang yang bisa mengambil sikap “gajah mungkur pungkur” adalah orang yang dewasa secara emosi. Ia tahu kapan berbicara, kapan diam, dan kapan harus mundur demi kebaikan bersama. Mengalah tidak selalu berarti kalah, justru sering kali itu adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi.
Menjaga Harmoni Sosial
Budaya Jawa sangat mengedepankan harmoni dalam hubungan antarmanusia. Dalam konteks ini, menjaga jarak adalah upaya untuk tidak memperkeruh keadaan. Bukan karena benci, tapi karena cinta. Bukan enggan berhadap-hadapan, tapi menyadari bahwa adu kepala hanya akan menambah luka.
Menjaga Jarak dalam Budaya Jawa
Menjaga jarak dalam budaya Jawa bukan bentuk sikap dingin atau tak peduli. Justru, di balik sikap tersebut tersimpan maksud baik: memberi waktu dan ruang supaya segala sesuatunya bisa kembali ke proporsinya. Berikut beberapa nilai yang menjadi dasar konsep menjaga jarak ala Jawa:
- Ajining diri saka lathi: Harga diri seseorang tercermin dari perkataannya. Diam bisa lebih berharga dari ribut yang menyakitkan.
- Ojo dumeh: Jangan merasa lebih tinggi. Kadang, kita perlu merefleksikan apakah kehadiran kita malah menambah masalah bagi orang lain.
- Sabar lan nrimo: Kesabaran dan penerimaan sering kali bisa mengurai simpul konflik lebih efektif daripada adu argumen.
Dalam dunia pertemanan, konsep ini juga berlaku. Teman yang sedang menjauh bukan berarti ia memutuskan hubungan. Bisa jadi ia sedang gajah mungkur pungkur, mencoba tenang dan menenangkan suasana, supaya hubungan tetap bisa dipertahankan dalam jangka panjang.
Konsep Boundaries dalam Psikologi Barat
Menariknya, konsep gajah mungkur pungkur dalam budaya Jawa ternyata memiliki kemiripan dengan konsep boundaries dalam psikologi Barat. Dalam psikologi modern, boundaries adalah batas emosional, fisik, dan mental yang kita tetapkan untuk melindungi diri dari tekanan atau perilaku yang tidak sehat dari orang lain.
Ada beberapa jenis boundaries yang penting dalam psikologi, seperti:
- Fisik: Menetapkan batas tentang apa yang membuat kita nyaman secara fisik.
- Emosional: Menjaga perasaan kita agar tidak dikendalikan oleh orang lain atau situasi negatif.
- Waktu: Mengatur waktu kita dengan bijaksana, termasuk menolak permintaan yang berlebihan.
- Mental: Menghargai perbedaan pendapat dan tetap berpegang pada nilai kita sendiri.
Menjauh Bukan Berarti Memutuskan
Sama seperti “gajah mungkur pungkur”, konsep boundaries tidak berarti menjauhi atau memutuskan orang lain secara total. Justru, boundaries adalah bentuk cinta kepada diri sendiri—agar kita bisa hadir sepenuhnya dalam hubungan tanpa merasa tertekan atau kehilangan jati diri.
Kita bisa menetapkan boundaries dengan cara:
- Mengatakan “tidak” dengan lembut tapi tegas.
- Menjelaskan perasaan tanpa menyalahkan.
- Mengambil jarak sementara saat emosi memuncak.
- Memberi ruang untuk introspeksi baik bagi diri maupun orang lain.
Persimpangan antara Kearifan Timur dan Barat
Meskipun berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, konsep “gajah mungkur pungkur” dan boundaries dapat dikatakan memiliki visi yang sama: menjaga hati dan hubungan tetap sehat. Keduanya menekankan pentingnya self-awareness—kesadaran diri untuk tahu kapan harus hadir, kapan harus mundur, dan kapan harus berdialog.
Yang menarik, dalam budaya Jawa, menjaga jarak dilakukan dengan begitu halus dan estetis. Tidak ada kata-kata tajam, tak ada labelisasi toksik. Cukup dengan bahasa tubuh, gestur, atau keheningan yang penuh makna. Sementara dalam budaya Barat, boundaries lebih diungkapkan secara eksplisit, dengan komunikasi yang terbuka dan langsung.
Fleksibilitas dalam Budaya Jawa
Budaya Jawa cenderung menggunakan pendekatan contextual; semuanya tergantung situasi. Dalam relasi keluarga, pertemanan, atau pekerjaan, menjaga jarak bukan soal siapa yang salah atau benar. Tapi lebih kepada “apakah situasi ini butuh kehadiran saya... atau justru butuh saya untuk mundur?”.
Pola pikir ini sejalan dengan prinsip psikologi modern tentang emotional intelligence—kecerdasan untuk memahami emosi kita dan menyesuaikan sikap sewajarnya.
Jarak Bukan Akhir, Tapi Jalan Menuju Damai
Dalam kedalaman budaya Jawa, “gajah mungkur pungkur” mengajarkan bahwa menarik diri sejenak bukan berarti menyerah, melainkan sebuah bentuk kedewasaan dan langkah strategis menuju keharmonisan. Dalam psikologi Barat, hal ini dikemas melalui konsep boundaries yang juga bertujuan melindungi keseimbangan diri dalam interaksi sosial.
Di era serba cepat ini, di mana semua dituntut untuk instan dan langsung diselesaikan, mungkin kita perlu kembali ke kearifan lama. Ketika konflik datang, sebelum menghunus lidah, yuk coba ingat satu prinsip halus dari tanah Jawa: gajah mungkur pungkur. Karena kadang, menjauh sebentar justru bisa mendekatkan hubungan yang ingin kita jaga.
Jadi, lain kali kalau kamu merasa emosimu mulai tak terkendali, atau ada hubungan yang mulai terasa melelahkan, jangan ragu untuk ambil jeda sejenak. Katakan dengan lembut, atau cukup tunjukkan lewat sikap: “aku butuh ruang”. Karena menjaga jarak bukan berarti hilang, tapi sedang berupaya untuk saling menjaga — dengan cara paling bijak yang kita tahu.