Dalam jagad kepercayaan masyarakat Jawa, tak ada sosok yang lebih dekat dengan urat nadi kehidupan desa selain Dewi Sri. Ia bukan hanya tokoh mitologis, tetapi juga simbol spiritual yang hadir dalam laku budaya sehari-hari. Di sawah yang menghijau, di lumbung yang penuh gabah, hingga dalam upacara selametan desa, nama Dewi Sri disebut dengan penuh khidmat.
Dewi Sri adalah dewi padi, lambang kesuburan dan kemakmuran dalam kehidupan agraris Jawa, dan eksistensinya masih hidup hingga hari ini meskipun zaman terus berubah.
Asal-usul Dewi Sri dalam Mitos Jawa
Kisah tentang Dewi Sri berasal dari mitologi kuno yang menyebar luas di wilayah Nusantara, terutama di Jawa dan Bali. Nama “Sri” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "kemakmuran" atau "kesejahteraan".
Dalam cerita rakyat Jawa, Dewi Sri sering dikisahkan sebagai adik dari Dewa Wisnu atau pasangan dari Dewa Sadana (nama lain Dewa Wisnu dalam beberapa versi). Ia lahir dari cahaya yang paling suci dan diturunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan.
Dalam mitos yang populer, Dewi Sri meninggal dunia dan tubuhnya menjelma menjadi tumbuhan pangan. Dari rambutnya tumbuh pohon kelapa, dari jarinya tumbuh berbagai rempah, dan dari tubuhnya tumbuh padi—makanan pokok yang menjadi sumber utama kehidupan masyarakat agraris.
Karena itu, padi dianggap sebagai hadiah suci, dan Dewi Sri dipuja sebagai penjaga kesuburan dan sumber pangan.
Makna Simbolis dan Spiritualitas
Dewi Sri bukan sekadar dewi kesuburan dalam pengertian biologis. Ia merupakan simbol kekuatan feminin yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Dalam sistem kepercayaan Kejawen, kesuburan tidak hanya dimaknai sebagai panen berlimpah, tetapi juga kelimpahan dalam kehidupan rumah tangga, keharmonisan relasi sosial, dan keseimbangan batin.
Masyarakat Jawa mengenal istilah “Sri mulih” atau “Sri lunga” yang mengacu pada pertanda datang atau perginya keberkahan dari suatu tempat.
Jika padi tumbuh subur dan ternak sehat, orang akan berkata bahwa Sri sedang tinggal di desa itu. Namun jika sawah kering dan penyakit melanda, dipercaya bahwa Dewi Sri sedang pergi.
Ini menunjukkan betapa dekatnya konsep Dewi Sri dengan kondisi sosial dan ekologis masyarakat.
Wujud Dewi Sri dalam Ritual Agraris
Hingga kini, banyak ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri, terutama dalam masyarakat pedesaan Jawa.
Salah satu tradisi paling terkenal adalah Sedekah Bumi atau Bersih Desa, sebuah upacara yang diselenggarakan menjelang musim tanam atau setelah panen raya. Desa Panusupan di Banyumas, misalnya, akan menyelenggarakan Sedekah Bumi pada bulan Juli 2025.
Di dalam tradisi ini, masyarakat membawa hasil bumi ke balai desa atau sumber mata air, dan menggelar sesaji berupa tumpeng, kembang setaman, dan miniatur Dewi Sri dari anyaman janur atau ketan.
Wujud Dewi Sri sering digambarkan sebagai perempuan cantik berbusana tradisional, lengkap dengan hiasan bunga dan sanggul, menunjukkan keanggunan dan keibuan.
Ada pula ritual Mapag Sri, yang berarti “menjemput Dewi Sri”, dilakukan dengan arak-arakan simbol Dewi Sri dari lumbung ke sawah, disertai doa dan nyanyian. Hal ini menunjukkan harapan agar Dewi Sri memberkahi musim tanam yang akan datang dengan hasil panen yang berlimpah.
Pengaruh Dewi Sri dalam Seni dan Budaya
Pengaruh Dewi Sri juga meresap ke dalam seni tradisional. Dalam wayang kulit, terdapat tokoh yang bernama Dewi Sri, meskipun tidak semua lakon mengangkat kisahnya. Dalam batik, motif-motif seperti padi sebar, lung-lungan, atau sawut bisa diinterpretasikan sebagai bentuk penghormatan pada Dewi Sri.
Begitu juga dalam ukiran rumah adat dan hiasan gebyok, sosok perempuan dengan lambang padi kerap dianggap sebagai representasi Dewi Sri.
Di dunia sastra Jawa klasik, pujian terhadap Dewi Sri banyak ditemukan dalam bentuk tembang dan kidung yang dinyanyikan dalam acara selametan atau pertunjukan rakyat. Ini menunjukkan bahwa Dewi Sri bukan hanya bagian dari kepercayaan, tetapi telah menyatu dengan ekspresi budaya masyarakat.
Relevansi Dewi Sri di Zaman Modern
Meski zaman telah berganti, dan masyarakat Jawa kini banyak yang hidup di kota serta menjauh dari sawah, figur Dewi Sri tetap memiliki tempat dalam kesadaran budaya.
Ia menjadi pengingat bahwa keberkahan hidup bersumber dari harmoni antara manusia dan alam, dari rasa syukur, dan dari penghormatan terhadap sumber kehidupan.
Di tengah krisis lingkungan dan perubahan iklim, nilai-nilai yang dibawa oleh simbol Dewi Sri menjadi semakin relevan. Kita diajak untuk merawat bumi sebagaimana leluhur merawat sawah dan ladang.
Kita diajak untuk tidak serakah dan mengambil seperlunya, menjaga keseimbangan, dan menghargai setiap butir nasi yang kita makan.
*****
Dewi Sri bukan sekadar dewi padi dalam dongeng lama. Ia adalah representasi nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita.
Dalam tubuhnya yang menjelma menjadi tumbuhan pangan, terkandung pesan bahwa kehidupan adalah hasil dari pengorbanan, kerja keras, dan rasa syukur.
Ketika kita menghormati Dewi Sri, sejatinya kita tengah menghormati bumi, petani, dan semua yang menopang keberlangsungan hidup.
Maka, selama manusia masih menanam padi dan mengucap syukur atas makanan di meja, selama itu pula Dewi Sri akan tetap hidup dalam hati masyarakat Jawa.