Selametan adalah salah satu tradisi inti dalam kehidupan masyarakat Jawa yang masih bertahan hingga kini. Bukan sekadar ritual belaka, melainkan sebuah ekspresi spiritual dan sosial yang mencerminkan rasa syukur, gotong royong, serta usaha menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi ini biasanya digelar pada berbagai momen penting seperti kelahiran, pernikahan, kematian, panen, maupun pendirian rumah baru.
Secara harfiah, istilah "slametan" berasal dari kata "selamet" yang bermakna keselamatan atau terhindar dari marabahaya.
Pelaksanaan slametan biasanya diisi dengan doa bersama dan makan sederhana yang melibatkan tetangga dan kerabat dekat. Hidangan seperti nasi tumpeng, lauk-pauk sederhana, buah-buahan, dan jajanan tradisional disajikan untuk dinikmati bersama sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.
Dalam Serat Centhini, Raden Ngabehi Ranggasutrasna menyatakan:
“Urip iku kudu migunani kanggo sesama, ing kono rasa syukur lan rasa tentrem bakal tuwuh kanthi alami.”
(Hidup harus berguna bagi sesama, di situ rasa syukur dan ketenangan akan tumbuh dengan sendirinya.)
Pesan ini menegaskan bahwa hakikat slametan adalah berbagi kebahagiaan dan rezeki dengan sesama sebagai wujud syukur yang sejati.
Di tengah masyarakat Jawa, tradisi slametan menjadi sarana perekat sosial. Semua orang, tanpa melihat status sosialnya, duduk berdampingan, berbagi makanan, dan memanjatkan doa yang sama. Kegiatan ini menegaskan bahwa dalam kehidupan sosial, setiap individu mempunyai kedudukan yang setara dan saling membutuhkan.
Menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram, makna slametan jauh melampaui sekadar ritual:
“Saben wong Jawa iku duwe karep supaya uripe selamet, lan karepe mau kadadeyan ing lakune urip saben dina.”
(Setiap orang Jawa memiliki keinginan agar hidupnya selamat, dan keinginan itu diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.)
Dari sini tampak bahwa slametan merupakan cerminan doa kolektif untuk keselamatan dan kebahagiaan bersama, bukan sekadar formalitas yang rutin digelar.
Selain sebagai wujud syukur, slametan juga merupakan ekspresi kuat semangat gotong royong yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat Jawa. Sebelum slametan dimulai, tetangga saling bahu-membahu dalam persiapan acara, dari memasak, membersihkan rumah, hingga membantu merapikan tempat setelah acara selesai. Gotong royong ini mempererat hubungan sosial antarwarga dan menumbuhkan semangat persatuan.
Hal ini sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang terkenal:
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
(Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan.)
Nilai-nilai ini tampak jelas dalam slametan, di mana setiap warga berperan sesuai kemampuan demi kelancaran acara dan kebersamaan masyarakat.
Namun, di era modern, muncul beberapa kesalahpahaman tentang slametan yang berkembang dalam masyarakat.
Banyak orang kini berpendapat bahwa tradisi slametan hanyalah pemborosan uang dan tidak memiliki dasar dalam kitab agama yang mereka anut. Persepsi negatif ini sering muncul karena pemahaman yang kurang terhadap nilai filosofis dan sosial yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Padahal, jika ditelaah lebih dalam, slametan sesungguhnya jauh dari sekadar pemborosan atau ritual yang tidak bermakna.
Slametan justru menjadi sarana menjaga ikatan emosional dan sosial yang kuat antarindividu dalam masyarakat. Melalui acara ini, orang saling bertemu, saling mengenal, dan saling peduli, yang semuanya menjadi investasi jangka panjang bagi harmoni sosial.
Di sisi lain, soal anggapan bahwa tradisi slametan tidak ada dalam ajaran agama tertentu, sebenarnya perlu diluruskan. Slametan bukanlah ajaran agama tertentu secara eksklusif, melainkan tradisi budaya lokal yang telah berakulturasi dengan nilai-nilai universal, seperti rasa syukur dan kebersamaan, yang secara esensial juga diajarkan dalam berbagai agama.
Slametan mencerminkan ekspresi spiritualitas yang luas dan bersifat inklusif, sehingga tidak bertentangan dengan esensi agama apa pun.
Dalam Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dijelaskan secara gamblang:
“Wong Jawa kudu tansah eling lan waspada, lan uripe tansah bebarengan kanthi tulus lan ikhlas.”
(Orang Jawa harus selalu ingat dan waspada, serta hidup bersama dengan tulus dan ikhlas.)
Pesan ini mengandung makna bahwa slametan adalah wujud kesadaran sosial sekaligus kesadaran spiritual, bahwa manusia harus senantiasa hidup berdampingan secara tulus, tanpa prasangka.
Tentu saja, tradisi ini menghadapi tantangan nyata seiring berkembangnya zaman. Modernisasi, urbanisasi, dan kesibukan sehari-hari menyebabkan generasi muda semakin sulit memahami esensi selametan. Di tengah kehidupan yang makin individualistis, slametan seringkali dianggap tidak relevan, merepotkan, dan tidak praktis.
Untuk mengatasi tantangan ini, masyarakat Jawa perlu memperkuat pemahaman terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi selametan. Pendidikan keluarga, komunitas, dan sekolah perlu kembali menanamkan arti penting tradisi ini.
Adaptasi juga diperlukan, misalnya dengan menyederhanakan pelaksanaan acara tanpa kehilangan makna intinya, sehingga lebih praktis namun tetap penuh makna.
Dengan demikian, slametan akan tetap hidup dalam hati masyarakat Jawa, bukan sebagai ritual semata, tetapi sebagai kekayaan budaya yang sarat dengan nilai sosial, spiritual, dan kemanusiaan.
Memahami slametan bukan hanya sebagai ritual tetapi sebagai wujud nyata dari rasa syukur dan gotong royong, akan menjadikan masyarakat Jawa semakin kuat dalam menjaga harmoni sosial di tengah arus modernisasi yang tak terhindarkan.