Bagi masyarakat Jawa, makanan bukan hanya sekadar pengisi perut atau kesenangan lidah. Ada banyak kuliner yang memiliki makna mendalam dalam konteks budaya dan spiritual, salah satunya adalah bubur merah putih. Selain dikenang sebagai makanan pendamping saat berbagai hajatan, bubur ini juga menjadi simbol keseimbangan hidup dalam upacara-upacara adat.
Artikel ini akan membahas secara santai namun mendalam tentang makna bubur merah putih, dalam konteks kuliner ritual dan bagaimana ia menjadi simbol budaya Jawa yang masih lestari hingga kini.
Apa Itu Bubur Merah Putih?
Bubur merah putih adalah sajian bubur yang secara harfiah terdiri dari dua warna: putih dan merah. Warna merah di sini biasanya dihasilkan dari campuran gula merah dengan santan dan beras, sedangkan bubur putih terbuat dari beras dan santan tanpa pewarna maupun pemanis lainnya.
Ciri khas dari sajian ini adalah penyajiannya yang serasi di dalam satu wadah, namun tetap terpisah secara visual—setengah merah, setengah putih. Kedua komposisi ini memiliki makna simbolik yang sangat kuat bagi masyarakat Jawa. Sajian ini umumnya disajikan saat upacara adat seperti selapanan (ritual 35 hari setelah kelahiran), tingkepan (ritual 7 bulan kehamilan), hingga wisanggeni atau ritual tolak bala.
Makna Filosofis di Balik Warna Merah dan Putih
Putih: Kesucian dan Keikhlasan
Warna putih dianggap mewakili unsur kesucian, keikhlasan, dan kejujuran. Dalam kehidupan orang Jawa, nilai-nilai ini amat penting karena menjadi dasar dari hubungan antar manusia, hubungan dengan alam, dan hubungan dengan Tuhan. Bubur putih yang tidak bercampur pemanis melambangkan niat yang murni, tanpa pamrih.
Merah: Semangat dan Kekuatan Jiwa
Sementara itu, warna merah melambangkan semangat, keberanian, serta kekuatan jiwa. Dalam pandangan Jawa, merah juga kerap dikaitkan dengan unsur roso atau rasa, sebagai kekuatan batin yang menentukan arah hidup seseorang.
Keseimbangan: Hidup Harus Seiring Dua Unsur
Sama seperti prinsip yin-yang dalam filsafat Timur, masyarakat Jawa percaya bahwa hidup harus seimbang antara unsur keras dan lembut, terang dan gelap, semangat dan kesabaran. Bubur merah putih menjadi perwujudan nyata dari filosofi ini. Dalam tiap sendok bubur yang disantap, terkandung pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup.
Peran Bubur Merah Putih dalam Upacara Jawa
1. Upacara Selapanan Bayi
Saat seorang bayi mencapai usia 35 hari, orang tua biasanya mengadakan upacara selapanan. Dalam upacara ini, bubur merah putih hampir selalu hadir sebagai simbol syukur dan permohonan perlindungan bagi bayi. Bubur ini biasanya dipersembahkan kepada leluhur dan 'penjaga gaib' sebagai bentuk penghormatan sekaligus memohon keselamatan anak yang sedang bertumbuh.
2. Tingkepan: Ritual 7 Bulan Kehamilan
Ketika seorang ibu hamil memasuki usia kandungan 7 bulan, diadakan upacara tingkepan atau mitoni. Selain nasi tumpeng dan buah-buahan, bubur merah putih disuguhkan sebagai simbol keseimbangan antara kesehatan ibu dan janin. Warna merah mencerminkan semangat ibu dalam menjalani kehamilan, sedangkan putih menggambarkan ketulusan doa dan harapan untuk keselamatan sang bayi.
3. Tolak Bala dan Bersih Desa
Dalam ritual tolak bala atau bersih desa, bubur merah putih kerap ditempatkan bersama sesaji lainnya di perempatan jalan, bawah pohon beringin, atau titik-titik yang diyakini sebagai jalur makhluk gaib. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan dari roh-roh jahat serta menyeimbangkan aura negatif dan positif dalam komunitas.
Bubur Merah Putih sebagai Kuliner Ritual
Tidak seperti kuliner lain yang dinikmati setiap hari atau pada saat-saat santai, bubur merah putih termasuk dalam kategori kuliner ritual. Artinya, penyajiannya tidak semata-mata untuk makan, tetapi lebih bertujuan spiritual dan simbolik.
Bahan Sederhana, Makna Mendalam
- Beras – melambangkan sumber kehidupan dan kemakmuran.
 - Santan – menggambarkan kelembutan hati dan kasih sayang.
 - Gula Merah – simbol kehangatan dan semangat hidup.
 
Ketiga bahan utama ini sebenarnya mudah ditemukan, namun dalam tradisi Jawa, kombinasi mereka bisa menjadi sarana komunikasi dengan Tuhan dan alam semesta.
Tradisi yang Masih Hidup hingga Kini
Walau zaman sudah begitu modern, tak bisa dipungkiri bahwa budaya Jawa tetap melestarikan simbol-simbol tradisional termasuk bubur merah putih. Bahkan di kota besar seperti Yogyakarta, Solo, hingga Jakarta, banyak keluarga yang masih mempertahankan penyajian bubur ini dalam upacara keluarga.
Hal ini menjadi bukti bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang serba digital, makna-makna spiritual dan filosofi masih punya tempat penting. Bubur merah putih adalah salah satu wujud nyata bahwa warisan budaya bisa terus relevan, selama kita memahami dan menghargai nilai-nilai yang dikandungnya.
*****
Bubur merah putih mungkin terlihat sederhana, tapi di baliknya tersembunyi pesan yang dalam: bahwa hidup memerlukan keseimbangan antara rasa dan logika, antara emosi dan ketenangan, antara semangat dan keikhlasan. Makanan ini adalah pengingat bahwa dalam setiap langkah, manusia harus mampu menjaga keseimbangan dalam dirinya dan lingkungannya.
Mari kita lestarikan kuliner ritual ini, tidak hanya dengan membuatnya tetapi juga memahami makna di baliknya. Karena sejatinya, budaya hidup bukan hanya karena diwariskan, tapi karena dipahami dan dijalani.