Dalam budaya Jawa, kepemimpinan bukan sekadar soal jabatan atau kuasa. Menjadi pemimpin adalah menjalani peran sebagai panutan, pelindung, sekaligus pelayan bagi orang yang dipimpin. Falsafah Jawa telah lama menanamkan nilai-nilai luhur tentang kepemimpinan melalui berbagai pitutur (nasihat bijak) yang diwariskan turun-temurun.
Berikut ini adalah 7 pitutur Jawa tentang kepemimpinan yang patut kita renungkan dan terapkan, baik dalam skala kecil seperti keluarga, maupun dalam skala besar seperti organisasi dan negara.
1. Ing Ngarso Sung Tulodho
“Di depan memberi teladan.”
Pepatah ini merupakan bagian dari trilogi ajaran kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara. Pemimpin yang baik harus menjadi contoh bagi yang dipimpin. Bukan hanya pandai bicara atau memerintah, tapi mampu menunjukkan integritas melalui tindakan nyata.
Maknanya:
Seorang pemimpin sejati tidak berlindung di balik kekuasaan. Ia ada di garda terdepan saat dibutuhkan. Ia menginspirasi dengan perilaku, bukan intimidasi. Dalam konteks modern, ini bisa dilihat pada pemimpin yang tidak ragu turun langsung ke lapangan, mendengar aspirasi bawahan, dan ikut merasakan tantangan di lapangan.
Contoh penerapan:
Seorang kepala desa yang ikut kerja bakti bersama warganya. Atau seorang manajer perusahaan yang tidak segan lembur bersama timnya saat proyek penting.
2. Ing Madya Mangun Karsa
“Di tengah membangun semangat.”
Masih bagian dari trilogi Ki Hajar Dewantara, pitutur ini mengingatkan bahwa pemimpin tidak boleh hanya berada di atas menara gading. Ia harus menyatu dengan yang dipimpin, hadir di tengah mereka, dan mampu membangkitkan semangat kolektif.
Maknanya:
Kepemimpinan yang baik adalah yang partisipatif, bukan otoriter. Seorang pemimpin mendengarkan, memahami dinamika tim, dan membangkitkan gairah kerja. Ia bukan pemecah, tapi pemersatu.
Contoh penerapan:
Pemimpin organisasi mahasiswa yang melibatkan seluruh anggota dalam pengambilan keputusan. Atau seorang kepala sekolah yang rutin berdialog dengan guru dan siswa untuk menyerap aspirasi.
3. Tut Wuri Handayani
“Di belakang memberi dorongan.”
Bagian terakhir dari trilogi tersebut berbicara tentang peran pemimpin sebagai pendukung. Saat sistem telah berjalan, seorang pemimpin memberi kepercayaan kepada timnya, dan mendorong mereka tumbuh dan berkembang.
Maknanya:
Pemimpin yang baik tidak haus kendali. Ia tahu kapan harus memimpin di depan, dan kapan harus mundur memberi ruang. Ia bukan penjaga status quo, tapi pendorong inovasi.
Contoh penerapan:
Direktur perusahaan yang memberi keleluasaan pada tim kreatif untuk bereksperimen. Atau guru yang memberi kesempatan murid memimpin proyek, sembari mengamati dan membimbing dari belakang.
4. Adigang, Adigung, Adiguna
“Jangan sombong dengan kekuatan, kekuasaan, atau kecerdasan.”
Pepatah ini adalah peringatan keras agar pemimpin tidak terjebak dalam arogansi. Adigang (sombong karena kekuatan), adigung (sombong karena jabatan), dan adiguna (sombong karena kecerdasan) adalah tiga bentuk kesombongan yang kerap menghancurkan pemimpin.
Maknanya:
Semakin tinggi kedudukan seseorang, seharusnya makin besar kerendahan hatinya. Kepemimpinan bukan panggung unjuk diri, tapi ladang pengabdian.
Contoh penerapan:
Seorang pemimpin daerah yang tetap bersikap sederhana meski memiliki kuasa besar. Ia lebih memilih naik sepeda ke kantor, ketimbang konvoi mobil mewah.
5. Ajining Diri Ana Ing Lathi
“Harga diri seseorang terletak pada ucapannya.”
Ucapan adalah cermin batin. Pemimpin yang baik harus berhati-hati dalam berkata. Sekali lidah tergelincir, bisa hancur kepercayaan yang telah lama dibangun.
Maknanya:
Kata-kata pemimpin ibarat api dan air. Bisa membakar semangat, tapi juga bisa meluluhlantakkan harapan. Seorang pemimpin yang gemar berkata kasar, mencaci, atau menyebar fitnah akan kehilangan wibawa. Sebaliknya, pemimpin yang tutur katanya santun dan menyejukkan akan dihormati.
Contoh penerapan:
Pemimpin yang berbicara dengan penuh empati saat terjadi krisis, yang tidak menyalahkan pihak lain, tapi fokus mencari solusi bersama.
6. Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe
“Bekerja giat tanpa pamrih.”
Pemimpin sejati tidak bekerja demi pujian atau imbalan pribadi. Ia ikhlas melayani, bukan mencari panggung atau pengaruh semata.
Maknanya:
Dalam dunia yang penuh pencitraan, pitutur ini mengingatkan pentingnya ketulusan dalam memimpin. Bukan sekadar tampil di depan kamera, tapi benar-benar hadir menyelesaikan persoalan di balik layar.
Contoh penerapan:
Seorang walikota yang lebih sering ditemukan di rumah warga dibandingkan di acara seremonial. Ia lebih senang melihat warganya sejahtera, daripada sibuk mencari popularitas.
7. Memayu Hayuning Bawana
“Berusaha menjaga dan memperindah kehidupan dunia.”
Falsafah luhur ini menjadi semacam tujuan hidup bagi orang Jawa, termasuk dalam konteks kepemimpinan. Pemimpin ideal adalah mereka yang hadir untuk memelihara dan memperindah dunia, bukan merusaknya.
Maknanya:
Pemimpin tidak boleh hanya mengejar target ekonomi atau keuntungan semata. Ia harus mempertimbangkan keberlangsungan hidup, kelestarian alam, dan keadilan sosial. Dalam arti luas, ia hadir sebagai penjaga harmoni dunia.
Contoh penerapan:
Seorang pemimpin perusahaan yang menerapkan kebijakan ramah lingkungan dan memastikan kesejahteraan karyawan, bukan hanya mengejar laba besar.
Kepemimpinan sebagai Laku, Bukan Jabatan
Dari pitutur-pitutur di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam pandangan budaya Jawa, kepemimpinan bukan sekadar posisi formal, tetapi laku hidup. Seorang pemimpin bukan hanya dihormati karena pangkatnya, tapi karena perilakunya yang luhur, tutur katanya yang bijak, dan ketulusannya dalam mengabdi.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, nasihat-nasihat dari leluhur Jawa tetap relevan. Justru di tengah gempuran modernitas, kita butuh pemimpin yang membumi, berbudi, dan ngemong. Pemimpin yang tidak sekadar memimpin dengan otak, tapi juga dengan hati.
“Sing sapa gelem andhap asor, bakal diunggah-unggahi. Sing sapa ngugemi kabecikan, bakal linuwih ing urip.”
(Barang siapa bersedia rendah hati, akan diangkat derajatnya. Barang siapa berpegang pada kebaikan, akan unggul dalam hidup.)