Mimpi dalam tradisi Jawa bukan sekadar bunga tidur, melainkan jendela batin yang dapat memuat pesan gaib, pantulan angan, atau bahkan petunjuk hidup. Salah satu sumber klasik yang membahas mimpi secara mendalam adalah Serat Centhini ensiklopedia budaya dan spiritualitas Jawa yang ditulis pada awal abad ke-19.

Dalam karya agung ini tepatnya di bab 39, mimpi dibagi menjadi empat jenis utama: kawarsita, kacakrabawa, kadaradasih, dan kadarsana. Pemahaman akan keempat jenis ini penting, karena masing-masing memiliki makna dan derajat kepercayaan yang berbeda dalam laku spiritual Jawa.

 

1. Mimpi Kawarsita: Mimpi yang Mengandung Wangsit

Dalam Serat Centhini, kawarsita adalah mimpi yang paling luhur. Mimpi jenis ini dianggap sebagai wangsit, yaitu wahyu atau petunjuk dari alam gaib yang bisa diuji kebenarannya. Mimpi ini tidak muncul sembarangan, biasanya datang pada orang yang batinnya jernih dan dalam situasi yang genting atau penting.

Contoh nyata dari kawarsita: seseorang sedang menunggui orang sakit, lalu dalam tidurnya ia bermimpi bahwa si sakit perlu diberi ramuan tertentu. Ketika bangun, ia mengikuti petunjuk mimpi tersebut, dan benar—si sakit sembuh. Mimpi semacam ini tidak bisa diremehkan, karena terbukti membawa manfaat nyata.

Dalam masyarakat Jawa, mimpi kawarsita sering diyakini sebagai bentuk campur tangan leluhur, dewa, atau kekuatan adikodrati. Ia hadir bukan untuk ditafsirkan secara simbolik, tapi untuk dijalani.

 

2. Mimpi Kacakrabawa: Mimpi dari Kata-Kata

Jenis mimpi kedua adalah kacakrabawa, yaitu mimpi yang berasal dari kata-kata yang sering diucapkan sebelum tidur. Mimpi ini muncul karena pengaruh verbal yang masih membekas dalam pikiran.

Jika seseorang sebelum tidur banyak membicarakan sesuatu—baik kepada orang lain maupun dalam batin sendiri—maka besar kemungkinan hal itu akan muncul dalam mimpi.

Contoh: seseorang yang sepanjang malam membicarakan tentang kebakaran, lalu saat tidur ia bermimpi rumahnya terbakar. Mimpi ini bukan pertanda gaib, melainkan hasil dari resonansi kata-kata yang belum tuntas dicerna oleh pikiran.

 

3. Mimpi Kadaradasih: Mimpi dari Angan-Angan

Jenis ketiga adalah kadaradasih, yaitu mimpi yang lahir dari angan-angan atau keinginan yang terus dibayangkan ketika terjaga. Ini adalah mimpi yang lahir dari hasrat atau imajinasi yang belum terpenuhi.

Contohnya, seseorang yang sering membayangkan permata yang bersinar, kemudian saat tidur ia benar-benar bermimpi melihat permata yang sangat indah. Saat bangun pun, bayangan itu masih membekas.

Dalam laku spiritual Jawa, kadaradasih bukan mimpi yang perlu ditafsirkan mendalam. Ia hanyalah bunga dari keinginan dan khayalan yang menumpuk di benak.

 

4. Mimpi Kadarsana: Mimpi yang Ditiru

Jenis terakhir adalah kadarsana, yaitu mimpi yang ditiru atau terbentuk dari pengaruh hal yang dilihat atau dialami sesaat sebelum tidur. Bisa juga dikatakan sebagai mimpi hasil “copy-paste” dari kejadian sebelumnya.

Misalnya, seseorang sebelum tidur melihat gambar ular atau berbicara tentang ular. Lalu saat tidur, ia bermimpi melihat naga raksasa. Bentuk mimpi itu merupakan pelipatgandaan dari apa yang baru saja diserap pancaindra.

Dalam Serat Centhini, mimpi ini dipandang sebagai mimpi yang paling rendah nilainya dalam aspek spiritual. Ia bukan pesan, bukan peringatan, dan bukan pula pertanda. Kadarsana murni reaksi batin terhadap pengalaman visual atau sensori.

 

Menyikapi Mimpi dalam Laku Jawa

Keempat jenis mimpi ini bukan sekadar kategori, tapi juga panduan dalam menyikapi mimpi yang kita alami. Dalam tradisi Kejawen, tidak semua mimpi perlu ditafsirkan—kita harus bisa memilah:

  • Mimpi kawarsita: perhatikan baik-baik. Renungi dan, bila memungkinkan, uji kebenarannya dengan bijaksana.

  • Mimpi kacakrabawa dan kadaradasih: bisa digunakan untuk refleksi batin. Apa yang sering kita ucapkan dan pikirkan? Mimpi ini bisa menjadi cermin.

  • Mimpi kadarsana: tidak perlu dipusingkan. Ia datang dan pergi tanpa jejak.

Selain itu, dalam budaya Jawa juga dikenal laku seperti ngalap berkah mimpi, tirakat sebelum tidur, dan berdoa agar mimpi tidak diganggu roh jahat. Semua itu menjadi bagian dari etika spiritual sebelum memasuki dunia mimpi.

 

Laku dan Etika Menyikapi Mimpi

Dalam laku Kejawen, tidak semua mimpi harus langsung ditafsirkan. Ada etika dalam menyikapi mimpi:

  1. Mimpi buruk tidak boleh langsung diceritakan kepada orang lain, karena bisa menjadi pamali atau malah memperkuat energi negatif.

  2. Jika mimpi terasa sangat nyata dan membekas, disarankan untuk melakukan tapa brata ringan, seperti puasa mutih atau meditasi hening suwung untuk mencari pencerahan.

  3. Berdoa sebelum tidur juga menjadi bagian penting dalam laku tidur orang Jawa tradisional, agar mimpi yang datang tidak berasal dari bisikan buruk (jin atau energi negatif).

 

Mimpi, Antara Sadar dan Gaib

Tradisi Jawa selalu memandang mimpi sebagai bagian dari keberadaan manusia yang utuh: raga, jiwa, dan rasa. Melalui Serat Centhini, kita diajak untuk menyikapi mimpi dengan lebih bijaksana—bukan hanya sebagai bunga tidur, melainkan sebagai bagian dari dinamika batin dan spiritualitas.

Mimpi bisa menjadi jalan terang, bisa pula sekadar bayangan semu. Namun selama kita peka dan mau merenungi, setiap mimpi mengandung pelajaran, bahkan dari yang tampaknya tak berarti sekalipun.

 

Baca juga artikel tentang tafsir mimpi menurut Primbon Jawa dan psikoanalisa Sigmund Freud.