Dalam kebudayaan Jawa, 1 Sura bukan sekadar penanda pergantian tahun, melainkan sebuah momen sakral yang kaya makna dan tradisi. Jika dalam kalender Masehi kita mengenal 1 Januari sebagai awal tahun, maka masyarakat Jawa menandai tahun baru dengan 1 Sura, hari pertama dalam bulan Sura menurut penanggalan Jawa yang berbasis pada sistem kalender lunar.

Namun, tak seperti pesta tahun baru yang riuh oleh kembang api dan perayaan, 1 Sura diwarnai oleh kesunyian, kontemplasi, dan laku spiritual. Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang masih memegang teguh nilai-nilai Kejawen, 1 Sura adalah momentum untuk menyucikan diri, menyelaraskan batin, dan memohon keselamatan di tahun yang baru.

 

Asal-Usul dan Filosofi Bulan Sura

Secara etimologis, "Sura" berasal dari kata Arab "Asyura", yang merujuk pada hari ke-10 di bulan Muharram dalam kalender Hijriah.

Sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram Islam, kalender Jawa diselaraskan dengan kalender Hijriah.

Maka muncullah sistem penanggalan Jawa-Islam yang kita kenal sekarang, dengan 1 Sura sebagai hari pertama tahun baru Jawa.

Bulan Sura adalah waktu yang dianggap penuh aura gaib, di mana tirakat dan laku batin menjadi bagian penting. Dalam pandangan spiritual Kejawen, bulan ini adalah waktu terbaik untuk berintrospeksi, membersihkan batin, dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Maka tak heran jika banyak yang memilih menjalani ritual tapa, semedi, atau bahkan tirakat tidak makan-minum tertentu selama malam 1 Sura.

 

Tradisi-Tradisi yang Dilakukan pada 1 Sura

1. Tapa Bisu

Salah satu tradisi paling terkenal yang dilakukan di malam 1 Sura adalah Tapa Bisu, terutama yang dilakukan oleh para abdi dalem dan masyarakat di sekitar Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Tapa bisu adalah berjalan kaki mengelilingi keraton atau rute tertentu tanpa berbicara sepatah kata pun, tanpa alas kaki, tanpa makan minum, dan tanpa ekspresi apapun.

Di Yogyakarta, tradisi ini dikenal dengan nama "Mubeng Beteng", yakni mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih 5 km. Tradisi ini dipercaya sebagai bentuk tirakat dan pengendalian diri, serta penghormatan kepada leluhur dan penguasa gaib penjaga tanah Jawa.

2. Jamasan Pusaka

Tradisi lain yang lazim dilakukan adalah jamasan pusaka, yaitu ritual memandikan benda-benda pusaka seperti keris, tombak, atau gaman (senjata tradisional). Jamasan bukan semata membersihkan secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Pusaka dianggap memiliki kekuatan gaib atau energi yang harus dirawat dan diseimbangkan agar tidak membawa malapetaka.

3. Ziarah Kubur

Banyak masyarakat Jawa juga mengisi malam 1 Sura dengan ziarah ke makam leluhur atau tokoh-tokoh spiritual, baik di desa maupun di tempat-tempat keramat seperti Gunung Lawu, Parangkusumo, Imogiri, dan makam Sunan Kalijaga. Kegiatan ini ditujukan sebagai penghormatan kepada leluhur, sekaligus sarana untuk memohon restu dan keselamatan.

4. Laku Tirakat dan Puasa

Beberapa orang menjalani tirakat khusus, seperti puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih), puasa ngrowot (hanya makan umbi-umbian), atau bahkan puasa pati geni (tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak bicara selama semalam suntuk). Tirakat ini diyakini dapat membersihkan diri dari hawa nafsu dan mendekatkan batin pada Tuhan.

 

1 Sura 2025: Ketika Bertemu dengan Jumat Kliwon

Tahun ini, 1 Sura 1959 dalam kalender Jawa bertepatan dengan hari Jumat Kliwon, sebuah kombinasi yang sangat kuat secara spiritual. Dalam kepercayaan Jawa, Jumat Kliwon adalah hari yang memiliki energi gaib sangat tinggi, dan sering dianggap sebagai "malem angker" atau malam yang wingit.

Pertemuan antara 1 Sura dan Jumat Kliwon menciptakan momentum spiritual yang luar biasa, yang sering dianggap sebagai pintu antara dunia lahir dan batin terbuka lebar. Maka banyak orang akan menghindari kegiatan duniawi yang terlalu ramai, memilih berdiam diri, atau melakukan laku prihatin.

Makna Simbolik

Secara simbolik, 1 Sura yang jatuh pada Jumat Kliwon dapat dimaknai sebagai saat yang tepat untuk:

  • Membuka lembaran baru dengan kesadaran penuh akan keterhubungan antara dunia kasat mata dan gaib.

  • Menjaga lisan, perbuatan, dan pikiran karena setiap tindakan berpotensi berdampak spiritual lebih besar.

  • Menguatkan niat spiritual atau tekad baru yang dijalani dengan penuh keheningan.

Dalam konteks Kejawen, hari ini menjadi titik balik bagi mereka yang ingin memperkuat hubungan dengan sang diri sejati dan sang Pencipta.

 

Relevansi 1 Sura di Zaman Modern

Meskipun zaman terus berubah, tradisi 1 Sura tidak kehilangan maknanya. Bahkan di tengah hiruk-pikuk modernisasi, makna kontemplatif dan spiritual 1 Sura semakin dibutuhkan.

Kita hidup di zaman yang serba cepat, serba instan, dan penuh distraksi. Maka waktu-waktu seperti 1 Sura bisa menjadi jeda untuk merenung: apa yang sudah kita capai, ke mana arah hidup kita, dan bagaimana kita memperbaiki kesalahan masa lalu.

Bagi generasi muda, momen ini bisa dijadikan sebagai momentum detoks digital—berhenti sejenak dari media sosial, menjauh dari dunia maya, dan menyatu dengan keheningan.

Tak harus ikut tirakat ekstrem, cukup dengan berdiam diri, menulis jurnal, atau berdoa dalam kesunyian malam, sudah menjadi bagian dari tradisi spiritual ini.

 

Menyambut Tahun Baru Jawa dengan Kesadaran

1 Sura bukan sekadar tanggal dalam kalender. Ia adalah gerbang spiritual, tempat kita memulai perjalanan batin yang lebih dalam. Di hari ini, kita diajak untuk menjadi lebih peka, lebih sadar, dan lebih terhubung dengan dimensi batiniah kehidupan.

Tahun ini, ketika 1 Sura bertemu dengan Jumat Kliwon, mari kita manfaatkan untuk memperkuat niat baik. Tidak harus ikut tradisi besar. Yang terpenting adalah menghadirkan keheningan dalam diri, merenungi perjalanan hidup, dan menetapkan langkah untuk masa depan yang lebih bijaksana.

Sebab dalam sunyi, kita bisa mendengar suara jiwa. Dalam gelap, kita bisa melihat cahaya dari dalam. Dan dalam tirakat, kita bisa menemukan arah pulang.

Selamat menyambut 1 Sura Tahun 1959 Jawa. Nuwun.